WAYANG
MODIFIKASI
SEBAGAI
MEDIA PENINGKATAN KETERAMPILAN
BERCERITA
DI
KELAS VII SMPN
17 MALANG
TAHUN AJARAN 2012-2013
Ninik Sirtupi Rahayu*
SMP/ MTs KOTA MALANG
ABSTRAK
Bercerita merupakan
aktivitas yang rumit dan sulit karena melibatkan multikompetensi. Aktivitas ini
sangat berperan penting dalam berkomunikasi, bersosialisasi, dan meningkatkan
kemampuan akademis siswa. Bila diminta bercerita di depan kelas, siswa mengalami
hambatan psikologis seperti, takut,
malu, nervous, dan kurang percaya
diri. Karena itu, keterampilan bercerita
ini perlu dilatihkan sejak dini secara intensif pada situasi yang kondusif.
Pelatihan diprediksi akan berhasil bila guru memanfaatkan media secara
variatif, kreatif, inovatif, berada di lingkungan siswa, unik, menarik, mudah,
murah, serta menyenangkan.
Wayang modifikasi berasal
dari gambar yang diperbesar via fotokopi dan dikemas menyerupai wayang. Media
ini dapat dibuat guru bersama siswa sehingga siswa terlibat aktif secara
teknis, psikomotoris, estetis, dan emotif. Pelibatan teknis psikologis tersebut berdampak positif:
siswa merasa dihargai, bangga, dan pada gilirannya dapat menambah rasa percaya
diri dalam proses bercerita.
Dengan menggunakan metode
penelitian tindakan kelaspemanfaatan wayang modifikasi dalam pembelajaran bercerita berhasil meningkatkan kemampuan bercerita
siswa.
Kata kunci: bercerita, wayang
Berbicara merupakan keterampilan yang cukup sulit.
Untuk menghasilkan tuturan yang baik, pembicara dituntut menguasai aspek-aspek
bahasa dan nonbahasa. Aspek
kebahasaan meliputi lafal, intonasi, kosakata, kaidah ketatabahasaan, dan
kaidah kewacanaan (Taryono, 1983). Aspek nonbahasa yang memengaruhi
keberhasilan wicara adalah penguasaan materi/topik, kelancaran pembicaraan,
keberanian, kewajaran, dan sikap serta tanggung jawab penutur (Muhajir, 1975).
Bahkan, sikap (jujur, berani, dan tanggung jawab), pandangan tentang topik yang
dibicarakan, kematangan emosional, kepribadian, serta kemampuan berkomunikasi
secara wajar juga perlu dimiliki (Ahmadi, 1990). Selain itu, terdapat aspek
psikologis yang ikut memengaruhi keberhasilan wicara, yakni rasa komunikasi, humor,
kepemimpinan, dan kepercayaan diri (Priyatni dkk.,1997).
Keterampilan wicara melibatkan
daya pikir, wawasan pengetahuan, kompetensi sosial budaya pemakai bahasa.
Tuturan yang dikemukakan merupakan hasil proses berpikir (Chaer, 1995). Dalam
pengungkapan buah pikiran ini, penutur berhadapan dengan mitra tutur dengan
aneka latar belakang sehingga penutur (pembicara) harus memilih piranti bahasa
yang sesuai agar penuturan tanpa hambatan. Oleh karena itu, berbicara merupakan
aktivitas produktif yang mensyaratkan pemakai bahasa memiliki kompetensi
kognisi, kompetensi linguistik, dan kompetensi sosial budaya mitra tuturnya.
Penggunaan kompetensi kognisi,
linguistik, dan sosial budaya mitra tutur dalam suatu kegiatan berbicara
bukanlah merupakan hal yang mudah. Hal tersebut tampak pada komunikasi
sehari-hari. Banyak orang yang tidak dapat dipahami atau disenangi orang lain
karena tuturan orang tersebut tidak jelas atau tidak sesuai dengan mitra
tuturnya.
Siswa SMP akan menjadi
komunikator yang terampil jika diberi kesempatan berlatih yang cukup dan teknik
berlatih yang sesuai dengan taraf perkembangannya. Pengembangan bahasa lisan
tersebut lebih baik dilaksanakan pada masa dini seperti asumsi yang dikemukakan
oleh Lenneberg (dalam Hardjoprawiro,1997). Lenneberg menyatakan bahwa belajar bahasa layak
dilakukan sejak usia prasekolah hingga menjelang masa pubertas. Pada masa ini, seseorang mengalami masa keemasan dalam
belajar berbahasa. Oleh karena itu, keterampilan berbahasa lisan formal perlu
dilatihkan, diarahkan, dan dibimbing secara intensif agar kemampuan berbahasa,
rasa percaya diri, dan tanggung jawab serta kematangan emosional siswa tumbuh
secara wajar (Arsjad, 1988; Kurniawan, 1997). Di samping itu, perlu diupayakan
teknik pembelajaran dan pelatihan yang sesuai dengan perkembangan mereka karena
hal itu juga sangat memengaruhi keberhasilan peningkatan kemampuan berbicara
siswa.
Pembelajaran wicara di sekolah
secara ideal seharusnya dilaksanakan dengan baik. Hal di atas didukung oleh
beberapa alasan berikut. Pertama,
siswa memiliki kebutuhan untuk dapat berkomunikasi secara efektif dan efisien
sebagai pemuasan diri, pemenuhan kebutuhan sosial, dan pemenuhan kebutuhan
akademisnya (Logan dan Logan, 1967). Kedua,
berbicara menjadi bagian dari kehidupan kelas dan banyak digunakan dalam
kehidupan (Camp dan Tomkins dalam Tompkins dan Hoskisson, 1993). Ketiga, pembelajaran bahasa lisan di
sekolah sangat diperlukan sebagai upaya pengembangan dan peningkatan kemampuan
akademis siswa (Loban dalam Tompkins dan Hoskisson, 1993).
Pengajaran
berbicara di sekolah masih mengalami beberapa kendala intern, baik yang berasal
dari diri siswa, keluarga, maupun guru. Dari segi siswa, pada umumnya mereka
merupakan penutur bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Di lingkungan keluarga atau
masyarakat mereka lebih sering mempergunakan bahasa ibu. Tingginya intensitas
penggunaan bahasa ibu ini merupakan salah satu faktor penghambat peningkatan
keterampilan berbicara dalam bahasa Indonesia. Selain itu, di dalam diri siswa
juga terdapat pula kendala psikologis antara lain rasa takut, malu, enggan,
kurang percaya diri, dan tidak berani tampil di depan umum meskipun itu teman
mereka sendiri. Agar siswa menjadi
penutur yang terampil, kendala psikologis inilah yang memerlukan penanganan secara khusus dan
serius.
Dari segi guru, terkait dengan
kemampuan, komitmen, dan sikap guru. Tiga hal tersebut seringkali justru
menjadi kendala keberhasilan pembelajaran. Kenyataannya, masih banyak guru yang
kurang memberikan perhatian terhadap pembelajaran berbicara. Tompkins dan
Hoskisson (1993) mengemukakan tiga alasan mengapa pembelajaran wicara
diabaikan. Pertama, guru menganggap
siswa sudah dapat berbicara tanpa harus melalui proses pembelajaran. Kedua, kelas yang besar merupakan
kendala tersendiri bagi guru untuk melakukan pembelajaran wicara. Kelas menjadi
gaduh dan tak terkendali. Ketiga,
guru beranggapan bahwa kelas yang tenang merupakan kelas ideal dalam
pembelajaran. Oleh karena itu, hasil pengajaran berbicara belum dapat dikatakan
baik (Tarigan,1988;Kurniawan,1997;Yatim,1998;Sugono,1998;Suparno, 1998).
Standar
kompetensi dan kompetensi dasar berbicara di kelas VII SMP, antara lain (1)
mengungkapkan pengalaman dan informasi melalui kegiatan bercerita dan
menyampaikan pengumuman, dengan kompetensi dasar (a) menceritakan pengalaman
yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif,
dan (b) menyampaikan pengumuman dengan intonasi yang tepat serta menggunakan
kalimat-kalimat yang lugas dan sederhana; (2) mengekspresikan pikiran dan
perasaan melalui kegiatan bercerita, dengan kompetensi dasar (a) bercerita
dengan urutan yang baik, suara, lafal, intonasi, gestur, dan mimik yang tepat,
dan (b) bercerita dengan alat peraga;
(3) mengungkapkan pikiran, perasaan, informasi, dan pengalaman melalui kegiatan
menanggapi cerita dan bertelepon, dengan kompetensi dasar (a) menceritakan
tokoh idola dengan mengemukakan identitas dan keunggulan tokoh, serta alasan
mengidolakannya dengan pilihan kata yang sesuai, dan (b) bertelepon dengan
kalimat efektif dan bahasa yang santun; dan (4) mengungkapkan tanggapan
terhadap pembacaan cerpen dengan kompetensi dasar (a) menanggapi cara pembacaan
cerpen, dan (b) menjelaskan hubungan latar suatu cerpen (cerita pendek) dengan
realitas sosial.
Pembelajaran berbicara -
khususnya bercerita dengan alat peraga -
diprediksi akan berhasil bila guru memanfaatkan media secara bervariasi,
termasuk di dalamnya media yang aneh, lucu, masih asing, atau belum pernah
dikembangkan oleh orang lain. Media-media yang demikian akan mampu menarik
perhatian dan menyenangkan siswa. Apalagi jika media tersebut dibuat
bersama-sama (guru dan siswa) dengan melibatkan aspek teknis dan nonteknis
(psikis) diprediksi akan lebih mengembangkan potensi siswa, baik potensi
akademis maupun potensi nonakademis. Selain melibatkan siswa secara teknis psikomotoris,
pembuatan media bersama-sama ini juga melibatkan estetis emotif. Pelibatan
siswa dalam kegiatan pembuatan media ini menyebabkan mereka merasa senang,
bangga, dan dihargai/dimanusiakan.
Dengan keterlibatan emosi yang demikian dipastikan dapat mengatasi kendala
wicara seperti takut, malu, enggan, nervous,
dan sebagainya yang pada akhirnya dapat meningkatkan keberanian, rasa percaya
diri, yang pada gilirannya dapat meningkatkan keterampilan berbicara.
Di lapangan, guru sebagai ujung
tombak pendidikan harus dapat merancang, membuat, mengaplikasi, dan
mengimplementasikan media pembelajaran secara variatif, kreatif, dan inovatif.
Dengan membidani pemanfaatan media yang murah, mudah dibuat, akrab dengan dunia
siswa, tersedia di lapangan, dan menyenangkan dapat meningkatkan prestasi siswa.
Secara etimologis ‘wayang’
berasal dari bahasa Jawa ‘wewayangan’ yang berarti bayang-bayang atau bayangan. Wayang ini
dimainkan oleh seorang ‘dalang’ dari balik layar sehingga penonton melihat wewayangan (Jw), bayang-bayang/bayangan.
Terdapat berbagai kreasi wayang di
beberapa daerah Pulau Jawa dan Bali. Di daerah Sunda terdapat wayang
golek/krucil boneka tiga dimensi dengan dalang berbahasa Sunda, di Jateng dan
Jatim terdapat wayang orang dan wayang kulit dengan dalang berbahasa Jawa.
Demikian juga di Bali terdapat wayang kulit dengan dalang berbahasa Bali.
Sementara itu, wayang potehi (pengaruh budaya Cina) dipertontonkan setiap hari
raya Imlek di panggung dengan boneka-boneka bertali.
Melalui media wayang ini, sang
‘dalang’ (narator) di samping menyampaikan cerita tertentu yang disebut
‘lakon’, juga menyampaikan pesan moral yang sarat petuah dan dibumbui humor
segar yang sangat menghibur. Selain ada seorang dalang, ada juga pemain gamelan
dan ‘pesinden’ (penyanyi) yang membantu menghidupkan suasana.
Lakon (cerita) yang sudah sangat
dikenal masyarakat, misalnya ‘Karna Tanding’ menceritakan peperangan
antarsaudara (Kurawa dan Pandawa) yang terkenal sebagai Perang Bratayuda di
padang Kurusetro, dan sebagainya. Lakon atau cerita inilah yang dalam
pembelajaran bercerita bahasa Indonesia diganti dengan cerita kreasi siswa,
baik yang berasal dari ide murni siswa, hasil membaca karya orang lain, maupun
hasil mendengar sajian cerita dari mana pun.
Yang dimaksud wayang modifikasi
adalah modifikasi wayang kulit, berupa gambar tokoh (baik manusia maupun
binatang), berasal dari kertas/karton yang dibuat sedemikian rupa sehingga
dapat dimainkan sebagaimana dalang memainkan wayang kulit. Jika dimanfaatkan
sebagai media pembelajaran, wayang modifikasi ini diprediksi akan sangat
menyenangkan siswa. Siswa dapat memainkannya baik secara individual maupun
secara berkelompok. Jika berkelompok, siswa dapat berbagi tugas. Ada seorang
yang bertugas sebagai narator (dalang/pencerita), sementara anggota lain dapat mengiringi
dengan nyanyian (akapela) dan bunyi-bunyian.
Berdasarkan paparan latar
belakang di atas, pemanfaatan wayang modifikasi (selanjutnya akan disebut
‘wayang modif’) sebagai media pembelajaran keterampilan bercerita perlu dikembangkan
dan disosialisasikan kepada guru bahasa Indonesia paling tidak pada tataran
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) sebagai karya kreatif inovatif.
Mengingat
luasnya masalah yang akan diteliti, akan dilakukan pembatasan masalah. Berikut
ini akan diuraikan pembatasan masalah tersebut. Pelaksanaan pembelajaran
bercerita dengan alat peraga mengharuskan guru berpikir serius, alat peraga
atau media apa yang akan dimanfaatkan? Media
yang digunakan dituntut dapat menyenangkan dan menarik perhatian siswa.
Jika tidak demikian, proses pembelajaran akan membosankan, siswa kurang
termotivasi untuk berbicara/bercerita di depan kelas, dan hasil pembelajaran
pun tidak dapat diandalkan. Oleh karena itu, perlu dicarikan solusi dengan
pembelajaran yang kreatif inovatif.
Dalam pembelajaran berbicara
(bercerita) di kelas VII SMP semester 1 kompetensi dasar yang diharapkan adalah
(a) bercerita dengan urutan yang baik, suara, lafal, intonasi, gestur, dan
mimik yang tepat, dan (b) bercerita dengan alat peraga. Dalam proses pembelajaran,
guru memerlukan sejumlah alat peraga atau media pembelajaran. Jenis media
apakah yang dapat membantu guru dalam pembelajaran bercerita yang sesuai dengan
(a) tingkat usia, (b) perkembangan psikologi siswa, (c) menyenangkan, (d) mudah
dibuat, (e) tersedia di sekitar siswa, dan (f) dapat dibuat dengan biaya murah?
Oleh karena itu, masalah pada makalah ini dibatasi pada pemilihan dan
pemanfaatan wayang modif sebagai media pembelajaran bercerita.
Makalah ini dimaksudkan untuk
membahas pemanfaatan media pembelajaran, khususnya ‘wayang modif’, dalam
pembelajaran bercerita bahasa Indonesia di kelas VII SMP Negeri 17 Malang tahun
ajaran 2012-2013. Media tersebut diprediksi dapat melenyapkan kendala
psikologis siswa saat diminta bercerita di depan kelas, menyenangkan, dapat
meningkatkan keterampilan bercerita siswa (secara khusus), dan prestasi
berbahasa Indonesia pada umumnya.
METODE PENELITIAN
Pemanfaatan
wayang modif dalam pembelajaran bercerita bahasa Indonesia di kelas VII SMP
Negeri 17 Malang ini dilaksanakan dengan metode eksperimentasi untuk mengetahui
apakah wayang modifikasi sebagai media pembelajaran bercerita benar-benar
menarik minat/motivasi siswa, menyenangkan, dan meningkatkan hasil
pembelajaran. Selain menyebarkan angket,
dengan memanfaatkan satu kelas eksperimen dan satu kelas kontrol, ternyata
dapat diketahui bahwa media wayang modif sangat membantu pembelajaran
bercerita, baik dari segi proses maupun hasil pembelajaran. Setelah diketahui
bahwa dengan memanfaatkan wayang modif siswa sangat berantusias mengikuti
proses pembelajaran, dilanjutkan dengan penelitian tindakan kelas. Pada akhir
tindakan diketahui bahwa siswa target yang tergolong introvert, mau dan mampu mengemukakan ceritanya di depan kelas.
PEMBAHASAN
Untuk
mengurangi hambatan psikologis dan meningkatkan keterampilan berbicara
(khususnya bercerita), perlu diupayakan agar pembelajaran terkondisi dengan
situasi yang membangkitkan motivasi,
menyenangkan, dan sesuai dengan tuntutan kurikulum. Salah satu bentuk
pembelajaran kreatif dan inovatif yang diyakini dapat memenuhi tuntutan
tersebut dapat dilangsungkan dengan menggunakan ‘wayang modif’.
Dasar berpikir
itu bertolak pada teori psikologi perkembangan dan teori pembelajaran bahasa.
Dalam teori psikologi perkembangan dijelaskan bahwa anak seusia 8-13 tahun
sedang berada pada masa senang bermain, senang bernyanyi, dan suka pada
kehidupan yang kurang terikat (Dobson dalam Pratiwi, 1984). Pada saat awal memasuki kelas VII SMP, siswa (dalam
keadaan transisi) masih membawa dan belum mampu meninggalkan kebiasaan lama
(saat di SD). Oleh karena itu, pembelajaran
dapat maksimal bila disajikan dengan model yang disukai siswa, antara
lain bermain-main dengan memanfaatkan gambar, mewarnai gambar, membuat gambar
tersebut menjadi bentuk baru (memodifikasi gambar menjadi wayang). Pada saat
ini, pikiran mereka sedang berada pada masa perkembangan sehingga masih mudah
dibentuk sesuai dengan potensi pikiran yang ingin dikembangkan. Sementara
dilihat dari teori pembelajaran bahasa, siswa usia hingga kelas VII SMP berada dalam masa peka belajar, khususnya
belajar bahasa lisan.
Pemanfaatan
‘wayang modif’ dalam pembelajaran bercerita dilakukan sebagai berikut. Siswa
diminta mencari gambar yang berasal dari media cetak, koran, majalah, buku cerita,
ataupun gambar seri. Siswa memilih gambar yang dapat difotokopi dengan ukuran
diperbesar. Siswa dan guru membuat wayang modif di sekolah, kemudian jika
sudah memahami cara pembuatan wayang
modif, siswa membuat ‘wayang modif’ sebagai PR. Bila kreatif, siswa dapat
memanfaatkan barang bekas seperti karton bekas kemasan produk, bungkus kado
bekas, koran warna, brosur bekas, dan lain-lain. Sambil membuat wayang modif,
baik di sekolah maupun di rumah sebagai pekerjaan rumah, siswa juga diminta
mencari cerita menarik yang akan disampaikannya di depan kelas.
Selanjutnya, wayang-wayang modif
yang telah dibuat oleh siswa bersama guru dimanfaatkan dengan cara berikut.
Jika kelas sudah memiliki beberapa ‘wayang modif’, siswa diminta memilih
‘wayang modif’ sesuai karakter tokoh yang akan diceritakan. Mereka memberi nama
tertentu pada tokoh ‘wayang modif’ yang telah mereka pilih.
Agar cerita yang dikemukakan
siswa di depan kelas runtut, secara individual (mandiri) siswa diminta
menuliskan pokok cerita yang hendak disampaikannya di depan kelas. Sesudah
menuliskan pokok-pokok cerita, menyusun alur, mengembangkan alur menjadi cerita
yang menarik, siswa diminta menceritakannya dengan memanfaatkan ‘wayang modif’
sebagaimana seorang ‘dalang’ memainkan lakon tertentu. Tahap penulisan pokok
cerita dan cerita di atas dilaksanakan untuk menghindari kesalahan sekaligus
untuk menambah rasa percaya diri saat siswa bercerita di depan kelas. Dengan
menuliskan alur cerita diharapkan siswa berlatih bercerita secara runtut,
kronologis, dan sistematis.
Pemanfaatan wayang modif dalam
pembelajaran bercerita di atas, di samping diharapkan dapat menjembatani
pelestarian budaya “menonton wayang” dan “menyimak” yang sudah sangat dikenal
oleh nenek moyang, diharapkan dapat menyenangkan, dan pada gilirannya dapat
meningkatkan keterampilan bercerita. Bila keterampilan bercerita siswa telah
meningkat, diharapkan masa depan Indonesia memiliki bibit-bibit unggul
pencerita andal sebagaimana Pak Suyadi (Pak Raden), Ria Enes, atau novelis
selevel N.H. Dini, Y.B. Mangun, Ayu Utami, dan lain-lain.
Bila pemakaian ‘wayang modif’
sebagai media bercerita secara individual sudah dikenal siswa, proses
pembelajaran dapat dikembangkan dengan bercerita secara berkelompok. Misalnya,
setiap empat orang siswa bergabung menjadi satu kelompok. Dari keempat siswa
ini ada yang bertugas sebagai narator (dalang, pencerita) sementara tiga yang
lain mempersiapkan lagu/nyanyian atau musikalisasi untuk mengiringi proses
penceritaan, baik secara akapela maupun dengan iringan musik sederhana. Sebagai
contoh, sambil memegang wayang modif yang dinamai Rita, narator mengatakan, “ Pagi-pagi aku sudah bangun…..”, tim
musik menyahut dengan penggalan lagu, “Bangun tidur kuterus mandi….(intro:
pakai sabun)”. “Aku melihat ibuku sibuk
memasak sarapan untuk kami …,” tim musik bernyanyi, “ Kasih ibu kepada
beta, tak terhingga sepanjang masa…”, dan seterusnya.
Masing-masing kelompok harus
bekerja ekstrakeras berlomba menjadi tim terbaik, dengan cerita yang masih
berupa misteri (rahasia) bagi kelompok lain, dan iringan musik atau akapela
yang paling harmonis. Dalam sebuah tim yang solid, siswa akan berupaya
memeragakan bagaimana seorang dalang yang diiringi pesinden atau penyanyi-penyanyinya membawakan cerita secara
sempurna sehingga cerita tersebut menjadi lebih hidup. Dengan demikian
diharapkan suasana menjadi semakin seru, menyenangkan, dan pada gilirannya dapat meningkatkan
keterampilan bercerita pada khususnya, dan keterampilan berbicara secara umum.
Karena bercerita merupakan
aktivitas yang bersifat transistori (mudah
terlupakan), hasil cerita siswa yang telah dilaksanakan secara individual
direkam dengan tape recorder. Di
samping mempermudah penilaian atau koreksi terhadap kekurangan siswa, perekaman
tersebut akan menyenangkan dan selanjutnya akan memotivasi, memacu kreativitas,
memicu semangat, dan memfasilitasi situasi kondusif kompetitif sehingga siswa
berlatih, bekerja berkelompok, dan belajar dengan lebih baik lagi. Mereka
merasa bangga mendengar kembali cerita yang telah dikemukakan di depan
teman-teman sekelasnya. Dengan demikian, masa yang akan datang dapat dipastikan
siswa sangat antusias dan berlomba-lomba membuat cerita paling menarik agar
dapat direkam dan diperdengarkan kembali. Bahkan, agar lebih bermakna dapat
diperlombakan secara kelas paralel, kemudian pemenangnya difasilitasi untuk
pementasan pada momen-momen tertentu seperti perpisahan, hari-hari besar agama,
dan hari besar nasional.
4.
Penutup
Bertitik tolak dari hipotesis
Lenneberg, pendapat pakar, dan penjelasan serta fakta di atas, dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan
(PAIKEM), serta melibatkan siswa baik
secara fisik maupun psikis, mutlak diperlukan dalam rangka memacu dan memicu
kompetensi wicara siswa. Pemanfaatan ‘wayang modif’ sebagai media pembelajaran
bercerita merupakan solusi penting yang sangat bermakna dalam
menumbuhkembangkan kompetensi psikologis dan akademis siswa. Oleh karena itu,
pembelajaran bercerita dengan alat peraga ‘wayang modif’ ini perlu disosialisasikan agar guru dapat
mengimplementasikannya di lapangan demi peningkatan kompetensi wicara siswa.
DAFTAR RUJUKAN
Ahmadi, Muhsin. 1990. Strategi Belajar Mengajar Keterampilan Berbahasa dan
Apresiasi
Sastra. Malang: YA3.
Arifin, Zaenal. 1994. Pengajaran Berbicara di Sekolah. Surabaya: BPG.
Arsjad, Maidar G, dan Mukti. 1988. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa
Indonesia.
Jakarta: Erlangga.
Depdiknas,
2001. Pedoman Pembuatan Alat
Pelajaran/Peraga atau Alat Bimbingan dan Angka Kredit Pengembangan Profesi Guru.
Dirjen Dikdasmen Ditendik Proyek Pengembangan Sistem dan Standar Profesional
Tenaga Kependidikan Dasar.
Depdiknas,
2004. Media Pembelajaran. Bahan Ajar
Diklat Berjenjang Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas
Depdiknas,
2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia SMP. Jakarta : Depdiknas.
Kurniawan, Khaerudin. 1997. Bahasa Negara Kita Berusia
52 Tahun. Suara Karya 22 Agustus
1997.
Kurniawan, Khaerudin. 1998. Reformasi Pendidikan Menuju
Masyarakat Melek IPTEK. Suara Pembaruan,
23 Januari 1998.
Lenneberg, Eric H. 1970. Biological Foundations of Language. New York :Wiley.
Logan, Lilian. M. dan Virgil G. Logan. 1967. A Dynamic Approach to Language Arts. Canada : McGraw-Hill Company.
Syafi’ie,
Imam. 1992. Problematik Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah . Bahasa dan Seni. Februari 1992.
Malang: FPBS IKIP Malang.
Tarigan, Henry Guntur. 1983. Berbicara: Sebagai Salah Satu Keterampilan Berbahasa.Bandung: Angkasa.
Taryono, A. R. 1995. Berwicara dan Teknik Pembelajarannya. Malang: FPBS IKIP Malang.
Tompkins, Gail. E. dan Kenneth Hoskisson. 1993. Language Arts: Content and Teaching Strategies.New York:
Macmillan Canada Inc.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Satuan Pendidikan : SMP
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/ semester : VII / 1
Waktu : 2 x 40 menit
A. Standar Kompetensi : 6. Mengekspresikan pikiran
dan perasaan melalui
kegiatan bercerita
B.Kompetensi Dasar : 6.1 Bercerita dengan urutan yang baik,
suara,
lafal, intonasi, gestur, dan
mimik yang tepat
6.2 Bercerita dengan alat peraga
C.
Indikator
1. Mampu memilih satu di antara cerita yang
pernah didengar atau dibaca untuk diceritakan kembali.
2.
Mampu mengidentifikasi
pokok-pokok cerita yang akan dibawakan.
3.
Mampu merangkai pokok-pokok
cerita sehingga membentuk alur yang
kronologis.
4.
Mampu memilih beberapa tokoh
sesuai karakter tokoh melalui gambar
(wayang modifikasi) sebagai peraga.
5.
Mampu menyampaikan cerita
dengan menggunakan peraga.
6.
Mampu menyampaikan cerita
dengan urutan yang baik, suara, lafal, intonasi, gestur, dan mimik yang tepat
D. Tujuan Pembelajaran Khusus
1.
Memilih satu di antara cerita yang pernah didengar atau dibaca untuk
diceritakan kembali
2.
Mengidentifikasi pokok-pokok cerita yang akan dibawakan.
3.
Merangkai pokok-pokok cerita
sehingga membentuk alur yang kronologis.
4.
Memilih beberapa tokoh yang akan diceritakan sesuai karakter tokoh
melalui gambar (wayang modifikasi) sebagai
peraga.
5.
Menyampaikan cerita dengan
menggunakan peraga.
6.
Menyampaikan cerita dengan
urutan yang baik, suara, lafal, intonasi, gestur, dan mimik yang tepat
E. Materi Pokok
Dongeng, cerita anak
F. Metode
Tanya jawab, penugasan, dan inquiri
G. Langkah Pembelajaran
I.
Kegiatan Pendahuluan
1. Tanya jawab tentang berbagai
dongeng atau cerita yang pernah dibaca atau didengar (appersepsi sebagai langkah menggugah skemata siswa)
2. Salah satu siswa
menceritakan kembali secara sekilas dongeng yang pernah dibaca atau didengar
(sebagai langkah untuk memotivasi siswa)
3. Siswa menulis indikator
(tujuan pembelajaran) yang akan dicapai pada kegiatan pembelajaran.
II.
Kegiatan Inti
1.
Siswa mendengarkan cuplikan
dongeng atau cerita yang dibawakan guru dengan menggunakan alat peraga ‘wayang
modif’.
2.
Siswa memilih sendiri alat
peraga ‘wayang modif’ yang akan dipergunakan.
3. Siswa menuliskan pokok-pokok
cerita yang akan dibawakan.
4. Siswa merangkai pokok-pokok
cerita sehingga membentuk alur yang kronologis.
5.
Siswa menyampaikan cerita
dengan menggunakan peraga ‘wayang modif’.
6.
Siswa menyampaikan cerita
dengan urutan yang baik, suara, lafal, intonasi, gestur, dan mimik yang tepat.
III.
Kegiatan Penutup
1.
Siswa mengemukakan permasalahan
yang terjadi selama proses pembelajaran.
2. Siswa menyimpulkan kegiatan
pembelajaran.
3. Siswa mencari dongeng lain
sebagai tugas untuk diceritakan kembali secara tertulis.
H. Alat dan Sumber Belajar
Alat : buku dongeng,
majalah anak-anak, wayang modif, tape
recorder
Sumber : majalah anak-anak, buku kumpulan
dongeng
I. Penilaian
* Teknik : tes unjuk kerja
* Bentuk instrumen : rubrik
·
Soal
1.
Pilihlah satu cerita yang
paling menarik di antara cerita yang pernah kamu baca, dengar, atau tonton.
Tuliskanlah pokok-pokok cerita dari cerita pilihanmu tersebut, kemudian
kembangkan menjadi cerita dengan bahasamu sendiri!
2. Pilihlah wayang modif yang ada, beri nama-nama tokoh sesuai dengan cerita
pilihanmu! Gunakanlah
wayang modif tersebut sebagai alat peraga!
Kisi-kisi Penilaian Kinerja
No
|
Kompetensi Dasar/Indikator
|
Klas/
smtr
|
Materi
|
Indikator
soal
|
Bentuk soal
|
No soal
|
1
2
|
Mampu
menyampaikan cerita dengan urutan yang baik, suara, lafal, intonasi,
gestur, dan mimik yang tepat
Mampu
menyampaikan cerita dengan alat peraga
|
VII/1
|
Dongeng/
cerita anak
|
Siswa mampu menyampaikan cerita dengan urutan yang baik,
suara, lafal, intonasi, gestur, dan
mimik yang tepat
Siswa mampu bercerita dengan menggunakan alat peraga
|
kinerja
|
1
2
|
FORMAT PENILAIAN INDIVIDUAL
No
|
NAMA SISWA
|
Aspek yang Dinilai
|
Jlh skor
|
Ni
lai
|
|||||||||||||||
Percaya diri
|
Keruntutan
|
Kejelasan
|
Bahasa
|
||||||||||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Skor 1 = kurang, 2 = cukup, 3 = baik, 4 = amat baik
Skor perolehan =
16 x 100. Nilai = jumlah skor dibagi
skor maksimal x 100