PENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI
PENDEKATAN KONTEKSTUAL (CTL)
Ngatmi
SMPK Sang Timur Malang
Jl. Bandung No. 2 Malang
MGMP BAHASA INDONESIA
SMP/ MTs KOTA MALANG
Abstract. The purpose of this research is to know
whether the using of CTL can help the teacher in story telling lesson or not as
a language skill in Indonesia language education to the students in school.
Beside that, to know whether CTL is able to repair the students’ learning
quality or not. CTL learning model is one of contextual learning method that
suitable with constructivism learning that want to build and develop students’
imagination and confidencial to create the true learning. This research is
consist of speaking skill material with basic competence “retell the students’
story that had already read,” learned in 7th grade, in Sang Timur Catholic
Junior High School of Malang. Technic of data analysis used in this research is
data reduction, data showing, summarizing. This research is able to increase
students’ confidencial to telling a story, although in telling a story was
still not perfect. But, the use of this model can increase learning process and
the result.
Key word: speaking skill,
CTL
Abstrak. Tujuan penelitian ini mendeskripsikan apakah penggunaan CTL dapat
membantu guru dalam pembelajara bercerita sebagai suatu keterampilan berbahasa dalam pembelajaran
Bahasa Indonesia kepada siswa di sekolah. Selain itu apakah penggunaan CTL
dapat memperbaiki kualitas pembelajaran berbicara para siswa. Model
pembelajaran CTL merupakan salah satu metode pembelajaran berbasis kontekstual
yang berorientasi pada model pembelajaran konstruktivisme yang berupaya
membangun dan mengembangkan daya imaginasi dan rasa percaya diri sehingga
terjadi pembelajaran yang bermakna. Penelitian ini meliputi materi keterampilan
berbicara dengan kompetensi dasar “ menceritakan kembali cerita anak yang
dibaca,” diajarkan di kelas VII, di SMPK Sang Timur Malang. Teknik analisis
data yang digunakan adalah mereduksi data , menyajikan data, penarikan kesimpulan.
Penelitian ini ternyata dapat meningkatkan keberanian siswa dalam bercerita,
walaupun dalam bercerita belum sesempurna yang diharapkan. Namun, demikian
penggunaan model ini dapat meningkatkan proses belajar dan hasil.
Kata Kunci : Keterampilan
berbicara, CTL
Berbicara khususnya bercerita
adalah suatu keterampilan berbahasa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia yang
harus dilatihkan guru kepada siswa. Berdasarkan kurikulum standar isi,
pembelajaran Bahasa Indonesia terbagi dalam empat aspek yaitu mendengarkan,
berbicara, membaca, menulis. Siswa SMP sebenarnya sudah sejak SD telah
memperoleh pelajaran Bahasa Indonesia khususnya aspek berbicara. Walaupun
demikian, di SMP ketika siswa diminta untuk bercerita ternyata masih banyak
yang enggan, hal itu dikarenakan cara atau pola yang dilakukan guru SD maupun
guru SMP sama.
Siswa diberi tugas mencari
sebuah buku dongeng, kemudian diberi waktu satu minggu untuk membaca, setelah
itu anak-anak diberi tugas untuk menceritakan kembali cerita yang sudah dibaca.
Apabila cara atau pola seperti itu tetap dilakukan, maka keterampilan siswa
dalam bercerita belum meningkat. Selain itu akan membuat siswa merasa terbebani
dan merasa bosan, takut, sehingga pada waktunya mendongeng ada siswa yang tidak
hadir di sekolah. Sedangkan siswa yang hadir pun sangat sulit ketika disuruh
bercerita di depan kelas. Apabila cara atau pola yang diuraikan di atas
berlangsung terus, maka keterampilan berbicara siswa kurang berkembang. Di
lingkungan pendidikan, siswa tidak akan menyadari pentingnya keterampilan
berbicara agar bisa menjalin komunikasi dengan guru,dengan stap tata
usaha,dengan sesama siswa. Apabila hal itu terus berlangsung maka yang terjadi
siswa akan takut untuk mengajukan pertanyaan bila ada materi yang tidak mereka
mengerti, dan ragu-ragu.
Apabila
cara atau pola yang diuraikan di atas berlangsung terus, maka keterampilan
berbicara siswa kurang berkembang. Di lingkungan pendidikan, siswa tidak akan
menyadari pentingnya keterampilan berbicara agar bisa menjalin komunikasi dengan
guru,dengan stap tata usaha,dengan sesama siswa. Apabila hal itu terus
berlangsung maka yang terjadi siswa akan takut untuk mengajukan pertanyaan bila
ada materi yang tidak mereka mengerti, dan ragu-ragu dalam menjawab pertanyaan
yang diberikan oleh guru. Sedangkan di dalam lingkungan keluarga, mereka akan
sulit dalam berkomunikasi baik dengan
anggota keluarga lainnya. Hal ini juga akan berdampak pada kemampuan
berinteraksi mereka di lingkungan masyarakat.
Masih
rendahnya kualitas berbicara siswa dapat diketahui dari beberapa indikator,
yaitu kualitas proses dan hasil belajar. Kulaitas proses pembelajaran dapat
diamati dari bagaimana aktivitas siswa, interaksi guru/siswa, interaksi antar
siswa, dan motivasi belajar siswa. Sedangkan kualitas hasil belajar dapat
diamati dari pr SMPK Sang Timur Malang menunjukkan bahwa keterampilan berbicara
sebagian besar siswa belum tuntas (syarat ketuntasan 70). Disamping itu,
pembelajaran masih sebatas membaca buku dongeng kemudian siswa diminta untuk
menceritakan kembali. Untuk memperbaiki kualitas pembelajaran berbicara di SMP,
perlu diterapkan pembelajaran inovatif. Pembelajaran inovatif merupakan
pembelajaran yang memberi peluang pada siswa untuk mengaktualisasikan diri.
Berdasarkan pengamatan, perlu dilakukan optimalisasi pembelajaran berbicara di
SMP. Salah satu metode pembelajaran yang sesuai dengan hakikat berbicara adalah
metode pembelajaran yang berbasis kontekstual (CTL). Model pembelajaran CTL
yang telah diujicobakan di sekolah merupakan model pembelajaran yang
berorientasi pada kontruktivisme sehingga dapat digunakan untuk mengatasi
masalah berbicara. Model pembelajaran tersebut perlu dioptimalkan agar terjadi
pembelajaran yang bermakna sesuai dengan paradigma kontruktivisme. Dalam
pembelajaran kontekstual, ada tujuh pilar yang perlu diterapkan secara optimal.
Tujuh pilar itu adalah kontruktivisme (contruktivism),
bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), penilaian sebenarnya (authentic assessment), dan refleksi (reflecting).
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui (a) apakah metode kontekstual dapat meningkatkan
kualitas proses belajar keterampilan berbicara siswa kelas VII SMP, (b) apakah
penerapan model pembelajaran kontekstual (CTL) dapat meningkatkan kualitas
hasil belajar keterampilan. Untuk itu, penelitian ini menggunakan model konstruktivisme
adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif
siswa berdasarkan pengalaman-pengalaman. Sifat konstruktivisme yang mulai
digagas oleh Mark Baldawin dan dikembangkan serta diperdalam oleh Jean Piaget
yang menganggap bahwa pengetahuan itu terbentuk bukan hanya dari objek semata,
akan tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subyek yang menangkap setiap
objek yang diamatinya. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal
dari luar, akan tetapi dikonstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang. Maka,
pengetahuan terbentuk oleh dua faktor penting, yaitu objek yang menjadi bahan
pengetahuan terbentuk oleh peran subjek untuk menginterprestasi objek tersebut.
Kedua faktor tersebut sama pentingnya. Dengan demikian pengetahuan itu bukanlah
bersifat statis melainkan bersifat dinamis, tergantung pada individu yang
melihat dan mengkonstruksinya. Lebih jauh Piaget menyatakan bahwa hakikat
pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi
selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek. Subjek membentuk
skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang diperlukan untuk
pengetahuan. Sedangkan pengetahuan sendiri dibentuk dalam struktur konsepsi
seseorang. Struktur konsepsi yang membentuk pengetahuan itu bila konsepsi
tersebut berlaku ketika berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang. Pembelajaran
yang berciri konstruktivisme menekankan terbangunnya pemahaman sendiri secara
aktif, kreatif, dan produktif berdasarkan pengetahuan sekarang dan yang
terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna. (Muslich, 2008:44-45).
Pengetahuan bukanlah serangkaian kata, konsep, dan kaidah yang siap
dipraktikkannya. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan tersebut terlebih
dahulu kemudian memberikan makna melalui pengalaman nyata. Karenanya, siswa
perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi
dirinya, dan mengembangkan ide-ide yang ada pada dirinya. Atas dasar
pengetahuan tersebut, prinsip dasar konstruktivisme yang dalam pembelajaran
harus dipegang oleh guru adalah sebagai berikut: proses pembelajaran lebih
utama daripada hasil pembelajaran.
METODE
Dalam menganalisis hasil penelitian, tidaklah
lepas dari metode penelitian. Metode penelitian ini dipakai sebagai tolok ukur
dalam menentukan arah kegiatan agar tujuan yang diharapkan semula dapat
tercapai. Selain itu, manfaat lain dari metode penelitian ini adalah untuk
memperoleh data yang relevan, dapat dipercaya, dan dapat memecahkan masalah
yang dihadapi. Maka, penelitian merupakan suatu proses yang terorganisir dan
sistematis dengan menggunakan metode ilmiah serta aturan yang berlaku untuk
menentukan jawaban dari fenomena yang terjadi. Rancangan penelitian dapat
diartikan sebagai strategi mengatur latar penelitian agar peneliti dapat
memperoleh data yang valid sesuai dengan karakter variabel serta tujuan
penelitian. (PPKI-UM, 2005:15)
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian
tindakan kelas (classroom action research)
yang berusaha mengkaji dan merefleksikan secara mendalam beberapa aspek dalam
kegiatan belajar mengajar. Beberapa aspek tersebut antara lain partisipan
siswa, interaksi guru-siswa, interaksi antar siswa. Hal ini peru dilakukan
untuk dapat menjawab permasalahan penelitian, dan kemampuan siswa dalam
bercerita. Penelitian ini dibagi dalam dua siklus yang disesuaikan dengan
alokasi waktu dan topik yang dipilih. Menurut Kemmis dan MC Taggart (1988), masing-masing
siklus terdiri dari empat langkah. Langkah-langkah tersebut antara lain: 1. Perencanaan
beberapa hal yang dilakukan di dalam perencanaan adalah merumusan masalah,
menentuan tujuan dan metode penelitian, serta membuat rencana tindakan.
Tindakan yang dilakukan sebagai upaya perubahan yang dilakukan adalah observasi
ini menuntut tindakan yang dilakukan secara sistematis untuk mengamati hasil
atau dampak tindakan terhadap proses belajar mengajar. Kemudian melakukan refleksi
merupakan tindakan yang mengkaji dan mempertimbangkan hasil atau tindakan yang
dilakukan.
Data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah aspek kognitif yang
diambil dari nilai berbicara/menceritakan kembali dongeng yang dibaca dan
disaksikan baik dari film layar lebar,maupun dari CD dongeng.Nilai akhir
diambil dari penilaian siswa dan penilaian guru,kedua nilai kemudian direkap
menjadi satu nilai akhir.Sumber data adalah siswa kelas VIIA,dan kelas VIIB
SMPK Sang Timur Malang semester I,dengan jumlah siswa 43 orang. Adapun instrumen
penelitian untuk menyimpulkan data adalah rubrik penilaian
berbicara/menceritakan kembali suatu cerita baik dari membaca buku,maupun dari
hasil menyaksikan film layar lebar maupun dari CD dongeng. Selanjutnya analisis
data menggunakan berupa : 1. Mereduksi data, pada tahap ini,data berupa nilai
didapat dari penilaian yang dilakukan siswa terhadap teman-temannya pada waktu
mendongeng dengan penilaian dari guru.Hasil kedua nilai kemudian direkap
menjadi satu nilai dalam setiap siklus.Peneliti juga membuat catatan lapangan
yang disusun secara sederhana kemudian dijadikan laporan yang sistematis.
Selanjutnya penyajian data dilakukan dengan mendeskripsikan secara naratif
data-data dan informasi-informasi yang diperoleh dari hasil reduksi sehingga mempermudah
penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Sedangkan penarikan kesimpulan
dilakukan terhadap temuan-temuan penelitian yang selanjutnya
diverifikasikan.Kriteria keberhasilan siswa diukur dengan ketuntasan hasil
belajar daya serap,maka diperlukan adanya analisis hasil bercerita pada setiap
siklus sebagai berikut: Seorang peserta didik dikatakan telah tuntas belajar
bila ia mencapai Nilai Ketuntasan Minimum yaitu nilai 70, dan suatu kelas
dikatakan tuntas belajar bila di kelas terdapat 80% dari jumlah siswa mencapai
nilai 70. Secara operasional, prosedur penelitian tindakan kelas yang
diterapkan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut: Perencanaan
tindakan berdasarkan tujuan penelitian. Beberapa perangkat yang disiapkan dalam
tahap ini adalah: bahan ajar, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP), buku dongeng. Sedangkan dalam pelaksanaan sebagai berikut:
Siswa diberi penjelasan tentang pembelajaran berbasis kontekstual. Guru
(peneliti) menjelaskan tujuan pembelajaran dan garis besar materi yang akan
dipelajari yaitu bercerita dari buku dongeng yang dibaca.
Siswa diberi izin ke perpustakaan untuk
memilih satu buku dongeng. Siswa dipersilakan untuk membaca buku dongeng, dan
dilanjutkan untuk membaca di rumah.Siswa diberi waktu satu minggu untuk melanjutkan
membacanya dan membuat sinopsis dari buku dongeng. Setelah satu minggu, siswa
diberi tugas untuk mendongeng dan mengumpulkan sinopsisnya. Siswa bersama guru
membuat rubrik penilaian. Siswa secara individu dipersilakan bercerita di depan
kelas. Guru (peneliti) bersama siswa melakukan pengamatan dan meberikan
penilaian. Guru (peneliti) bersama siswa merekap nilai. Guru melakukan refleksi
di akhir pelajaran pada siklus yang pertama. Pengamatan selama tahap pengamatan
siklus pertama, peneliti mengamati keterampilan berbicara siswa dalam bercerita
dengan menggunakan rubrik penilaian. Refleksi ini dibagi menjadi dua tahapan
lagi, yaitu: Analisis hasil observasi mengenai kemampuan siswa bercerita dari
hasil membaca buku cerita. Analisis beberapa kekurangan/kelemahan dari tahapan
sebelumnya.
Tabel 3.1Indikator Keberhasilan Pada
Siklus Pertama
Aspek
Penilaian
|
Nilai
|
Cara
Mengukur
|
1. Keruntutan cerita
2. Penggunaan bahasa
3. Intonasi, mimik
4.Gesture,mimik
4. Kelancaran, rasa percaya diri.
|
|
Diamati ketika bercerita dari awal
hingga akhir cerita.
Diamati ketika mengucapkan
ujaran-ujaran.
Diamati mimiknya dalam menceritakan
tokoh dalam buku cerita, nada suara.
Diamati kelancarannya dalam bercerita
(tidak tersendat-sendat), tampak percaya diri.
Dihitung dari skors yang diperoleh.
Siswa yang memperoleh nilai lebih besar/sama dengan 70 dinyatakan tuntas.
|
Kegiatan yang termasuk di dalam siklus
kedua ini meliputi: perencanaan, peneliti merencanakan tindakan berdasarkan
tujuan penelitian. Beberapa perangkat yang disiapkan dalam tahap ini adalah: bahan
ajar, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP),CD dongeng,film layar lebar
“Laskar Pelangi”,sinopsis dongeng. Pada tahapan yang dilakukan dalam
pelaksanaan adalah sebagai berikut: siswa diberi penjelasan tentang
pembelajaran berbasis kontekstual. Sedangkan guru (peneliti) menjelaskan tujuan
pembelajaran dan garis besar materi yang akan dipelajari yaitu bercerita dari
buku dongeng yang dibaca. Siswa dipersilakan menuju ruang audio untuk
menyaksikan beberapa dongeng dari CD,siswa diberi tugas untuk memilih salah
satu dongeng serta membuat sinopsis dari dongeng tersebut. Siswa juga
menyaksikan film layar lebar berjudul “Laskar Pelangi”(ini merupakan program
sekolah),peneliti memanfaatkan moment ini untuk menunjang pembelajaran
bercerita.Tugas siswa setelah menyaksikan film layar lebar adalah membuat
sinopsis. Satu minggu kemudian guru
masuk kelas, bersama siswa membuat rubrik penilaian. Guru membentuk kelompok
dongeng,ternyata ada 4 kelompok dongeng sesuai pilihan siswa. Guru
mempersilakan siswa untuk berkelompok sesuai.dengan dongeng yang dipilihnya. Di
dalam kelompok,siswa saling menukar sinopsisnya untuk saling membaca,saling
bertukar pikiran,ketua kelompok yang telah ditunjuk memberi contoh cara
mendongeng yang baik,tetapi improvisasi mendongeng tetap menjadi kebebasan para
siswa untuk mengembangkan imaginasinya. Kemudian para siswa dipersilakan
mendongeng satu persatu. Guru dengan siswa menilai penampilan siswa yang
mendongeng sesuai dengan rubrik penilaian yang telah dibuat. Guru (peneliti)
bersama siswa merekap nilai. Guru melakukan refleksi di akhir pelajaran pada
siklus yang kedua. Dalam tahap pengamatan,
selama tahap pengamatan peneliti mengamati keterampilan berbicara siswa dalam
bercerita dengan menggunakan rubrik penilaian. Sedangkan refleksi analisis
hasil observasi mengenai kemampuan siswa bercerita dari hasil menonton dongeng
dari CD dan film dan membaca sinopsis dongeng. Analisis beberapa
kekurangan/kelemahan dari tahapan sebelumnya.
Beberapa indikator keberhasilan pada
siklus kedua disajikan pada tabel berikut
Tabel 3.1 Indikator
Keberhasilan Proses Pada Siklus Kedua
Aspek
Penilaian
|
Nilai
|
Cara
Mengukur
|
1. Keruntutan cerita
2. Penggunaan bahasa
3. Intonasi, lafal
4.Gesture,mimik
5. Kelancaran, rasa percaya diri.
|
|
Diamati ketika bercerita dari awal
hingga akhir cerita.
Diamati ketika mengucapkan
ujaran-ujaran.
Diamati mimiknya dalam menceritakan
tokoh dalam buku cerita, nada suara.
Diamati kelancarannya dalam bercerita
(tidak tersendat-sendat), tampak percaya diri.
Dihitung dari skors yang diperoleh.
Siswa yang memperoleh nilai lebih besar/sama dengan 70 dinyatakan tuntas.
|
Instrumen yang digunakan dalam penelitian
ini berupa rubrik penilaian dan catatan guru/jurnal yang digunakan untuk
mengetahui proses dan kualitas belajar.
PEMBAHASAN
Pelaksanaan
penelitian dilakukan pada dua siklus karena adanya keterbatasan waktu yang
disediakan oleh sekolah. Pelaksanaan masing-masing siklus mencakup empat tahap
kegiatan yaitu perencaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Pada siklus
pertama, perencanaan dilakukan setelah melakukan kajian terhadap masalah
pembelajaran di kelas VII SMP Katolik Sang Timur Malang. Pemecahan masalah
dilakukan dengan menerapkan model pembelajaran berbasis kontekstual.
Pelaksanaan pembelajaran pada siklus pertama mencakup menyiapkan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), menyiapkan alat penilaian (penilaian proses dan
penilaian akhir), meteri ajar dan perangkat pembelajaran lain untuk kegiatan
pembelajaran aspek berbicara dengan materi “Menceritakan kembali cerita yang
dibaca”. Hasil pengamatan pelaksanaan pembelajaran dan refleksi pada siklus
pertama serta siklus kedua dipaparkan pada bagian berikut ini.
Pengajaran kompetensi dasar dilakukan pada tiga
pertemuan. Pada pertemuan pertama (2X40 menit). Pada awal pertemuan, guru
membuka pelajaran dengan mengucapkan salam dan menanyakan siswa yang tidak
hadir atau siswa yang beberapa hari yang lalu tidak hadir tetapi sekarang sudah
hadir. Guru menjelaskan kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran serta tugas
yang harus dilakukan oleh para siswa. Kemudian guru mempersilakan kepada para
siswa menuju perpustakaan untuk meminjam buku dongeng. Para siswa diberi
kesemapatan untuk membaca di perpustakaan. Sebelum pelajaran berakhir kurang
lebih 10 menit, guru bersama para siswa kembali ke kelas untuk membuat rubrik
penilaian. Tujuan membuat rubrik penilaian adalah untuk menilai penampilan
(bercerita) para siswa. Penilaian dilakukan bersama antara peneliti (guru)
dengan siswa. Nilai dari peneliti (guru) dengan siswa direkap bersama untuk
dijadikan nilai akhir. Pada akhir pelajaran, guru menjelaskan tugas pada
pertemuan berikutnya. Para siswa diberi waktu satu minggu untuk melanjutkan
membaca buku dongeng. Guru j menjelaskan tugas para siswa membuat sinopsis,
para siswa diingatkan juga untuk tidak menghafal ceritanya ketika mereka
mendongeng.
Pada
pertemuan kedua (2x40 menit), guru membuka pelajaran dengan mengucapkan salam
dan mengabsen siswa. Kegiatan awal pembelajaran dilakukan dengan menanyakan kesiapan
siswa untuk mendongeng dan rubrik penilaiannya. Kemudian guru mempersilakan
siswa secara sukarela yang mau bercerita lebih dulu. Menit demi menit berlalu
tanpa ada seorang siswa pun yang mau ke depan untuk bercerita. Karena ketika
diminta secara sukarela tidak seorang pun yang menanggapi, guru mengubah
strategi, yaitu dengan memanggil nama siswa sesuai dengan nomor urut. Strategi ini pun tidak berhasil sehingga waktu
1 jam pelajaran berlalu, guru (peneliti) memotivasi siswa dengan memberi nilai plus
kepada siswa yang mau bercerita lebih dahulu. Hasilnya tidak ada satu orang
siswa pun yang bergeming dari tempat duduknya, guru menanyakan alasan mereka
tidak mau bercerita. Salah satu siswa menjawab bahwa alasannya adalah tidak
hafal jalan ceritanya, dan yang lainnya pun secara serempak membenarkan. Maka,
peneliti (guru) akan mengingatkan kembali kepada para siswa bahwa untuk dapat
bercerita tidak harus hafal terlebih dahulu, karena kalau dihafalkan, maka
ketika bercerita bisa berhenti mendadak karena lupa. Guru menjelaskan yang
perlu dilakukan siswa adalah membaca buku cerita yang sudah dipinjam tidak
hanya satu kali tetapi bisa tiga/empat kali, setelah itu memahami karakter
masing-masing tokoh di dalamnya. Ketika bercerita di depan kelas, yang diperlukan
adalah imaginasi dan improvisasi untuk mengembangkan jalan ceritanya. Kemudian
sekali lagi guru (peneliti) memanggil nama siswa untuk bercerita sesuai dengan
nomor urut siswa. Karena terpaksa, akhirnya siswa pun mau bercerita di depan
kelas. Hasilnya mengecewakan, ada tiga siswa yang tetap tidak mau, yang lainnya
sewaktu bercerita banyak yang tidak lancar/tersendat-sendat bahkan tidak
sedikit yang lupa ceritanya, tidak sistematis, dan kurang berimprovisasi.
Kemudian guru (peneliti) bersama siswa merekap nilai menjadi satu. Hasil yang
didapat adalah sebagai berikut:
1. Sesuai SKM :
32 % (standar ketuntasan 70%)
2. Tidak sesuai SKM : 68 %
Dari hasil yang didapat, menunjukkan bahwa
kemampuan rata-rata siswa belum mencapai SKM. Rincian sebaran skor yang
diperoleh siswa disajikan pada gambar berikut.
Gambar 4.1 Hasil
Belajar Siklus Pertama
Jumlah Siswa
20
15
13
10
5
30-49 40-59 60-69 70-80 89-100
Gambar
4.1 Kelompok skor
Dari gambar 4.1 tampak bahwa sebanyak 36 siswa
tidak memenuhi SKM karena berada dibawah nilai 70. Sebanyak 13 siswa berada di
rentang nilai 40-59, dan 17 siswa berada di rentang nilai 60-69. Hanya sebagian
kecil siswa yaitu 28,26% yang mencapai SKM dengan skor maksimal pada rentangan 70-80.
Jumlah siswa yang mencapai SKM ini sebanyak 13 siswa Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian siswa sudah mendekati SKM yang bila dimotivasi dan penggunaan model
pembelajaran yang inovatif, kreatif akan dapat mencapai ketuntasan belajar.
Sebelum
jam pelajaran berakhir, guru (peneliti) memberi penjelasan untuk pembelajaran
selanjutnya, yaitu menyaksikan beberapa dongeng dari CD,menonton film
layar lebar di Matos yang berjudul “Laskar Pelangi”. Menonton film layar lebar
merupakan program dari sekolah, guru memanfaatkan moment ini untuk menunjang
pembelajaran bercerita. Guru (peneliti) memberi tugas kepada siswa untuk
menulis ringkasan ceritanya. Tiga hari kemudian seluruh siswa bersama dengan
guru menyaksikan film layar lebar di Matos dengan judul “Laskar Pelangi”. Pelaksanaan
pembelajaran pada siklus pertama sesuai dengan RPP yang dilaksanakan. Guru
(peneliti) menjelaskan materi tentang “Menceritakan kembali cerita yang
dibaca”,dan ternyata waktu yang direncanakan tidak cukup. Hal ini dikarenakan
siswa tidak mau/enggan melaksanakan tugasnya untuk menceritakan kembali cerita
yang dibaca. Pada proses pembelajaran, baru sebagian kecil yang benar-benar
melaksanakan pembelajaran sesuai dengan tujuan pembelajaran. Sebagian besar
siswa yang lain belum mencapai ketuntasan belajar. Proses pembelajaran di dalam
kelas sangat pasif, hal ini karena ketika siswa ditugaskan untuk bercerita di
depan kelas tidak ada yang bereaksi, bahkan ada tiga orang siswa yang tidak mau
bercerita. Lebih dari 68 % siswa belum
mencapai ketuntasan belajar, sedangkan siswa ynag tuntas hanya 32 %. Hal ini menunjukkan bahwa proses
pembelajaran belum mencapai target (65%), sehingga proses pembelajaran perlu
diperbaiki untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Selain hasil
belajar, kemampuan siswa dalam memahami bacaan belum memadai, sehingga ketika
harus bercerita di depan kelas banyak siswa yang menghadapi kendala. Hal ini
terlihat ketika siswa bercerita di depan kelas, banyak yang lupa jalan
ceritanya, kurang berimaginasi, dan kurang berimprovisasi.
Berdasarkan
uraian di atas, guru (peneliti) perlu mengubah strategi mengajar, rentang waktu
yang lama, memvariasikan materi yang ada tidak hanya terbatas pada membaca buku
dongeng, tetapi divariasikan dengan menyaksikan tayangan dari CD/film. Dengan
waktu yang cukup dan strategi yang tepat, serta memvariasikan materi membaca
buku dongeng dengan menyaksikan dongeng dari CD/film, diharapkan siswa dapat
lebih termotivasi untuk mencapai tujuan pembelajaran atau dapat mencapai
ketuntasan belajar khususnya menceritakan kembali cerita yang dibaca/disaksikan.
Pada siklus kedua, guru (peneliti) diharapkan dapat memberikan rentang waktu
yang cukup dan memilih strategi pembelajaran yang tepat serta inovatif dalam
pembelajaran. Selanjutnya menyaksikan beberapa dongeng dari CD (untuk
menyaksikan film layar lebar berjudul “Laskar Pelangi” dilakukan di luar jam pelajaran
dan merupakan program sekolah). Pada
pertemuan pertama (2x40 menit), guru menggunakan waktu selama lima menit untuk
membuka pelajaran dan mengabsen siswa. Kemudian guru menanyakan pelajaran yang
lalu ketika siswa menceritakan kembali cerita anak yang dibaca. Ada seorang
siswa menjawab pertanyaan guru bahwa mereka tidak hafal ceritanya, siswa yang
lain serentak mengiyakan. Lalu secara singkat guru menjelaskan kembali bahwa
dalam bercerita, siswa tidak perlu menghafal ceritanya, tetapi yang sangat
penting adalah memahami jalan ceritanya, dan supaya memahami jalan ceritanya
adalah dengan membaca dan membaca. Membacanya tidak hanya cukup sekali tetapi
berkali-kali bisa tiga sampai empat kali. Selanjutnya guru memberi penjelasan
tentang pembelajaran saat ini sama dengan yang lalu yaitu menceritakan kembali
cerita anak menggunakan pembelajaran berbasis kontekstual. Pembelajaran kali
ini ada perpaduan/kombinasi antara membaca dengan menyaksikan tayangan beberapa
CD dongeng, film layar lebar berjudul “Laskar Pelangi”. Setelah siswa
bersama-sama menyaksikan beberapa CD dongeng dan film layar lebar, siswa harus
menulis sinopsis/ringkasan cerita. Pada pertemuan berikutnya barulah
menceritakan kembali cerita yang telah dibaca dan disaksikan. Mendengar
penjelasan guru, secara serentak siswa berteriak “hore” dengan wajah berseri-seri
dan gembira. Kemudian guru mengajak anak-anak ke ruang audio untuk menyaksikan
beberapa dongeng. Selama menyaksikan dongeng dari CD, anak-anak terlihat sangat
antusias, mereka bisa relaks menikmati suasana yang menyenangkan. Anak-anak bisa
tertawa gembira bila ada tayangan yang menyenangkan atau sedih bila adegannya
mengharukan. Setelah jam pelajaran berakhir, guru mengingatkan tugas siswa
untuk menulis ringkasan cerita (sinopsis). Tiga hari kemudian, tepatnya tanggal 20 Oktober
2008 seluruh siswa dan para guru menyaksikan film layar lebar yang berjudul
“Laskar Pelangi”. Menyaksikan film layar lebar tersebut merupakan program
sekolah, maka moment ini oleh guru (peneliti) dipergunakan untuk pembelajaran
yang bersifat rekreatif. Dikatakan sebagai rekreatif karena pembelajarannya di
luar kelas dan sifatnya santai. Sesudah itu para siswa menceritakan kembali
cerita yang disaksikan/ditonton dan membaca dari sinopsis. Pertemuan kedua (2x40 menit)
atau satu minggu kemudian guru kembali masuk kelas untuk melanjutkan pelajaran.
Sebelum masuk kelas ada empat siswa yang menyongsong guru dengan mengatakan
“mendongeng ya, Bu?”. Para siswa sudah tidak sabar ingin segera mendongeng.
Guru tersenyum sambil mengiyakan. Di dalam kelas guru membuka pelajaran dan
mengabsen siswa. Guru menanyakan, “Apakah sudah siap untuk bercerita?”. Siswa
secara serentak menjawab, “Siap, Bu!” Kemudian guru mengingatkan rubrik
penilaian, dan mempersilakan siswa duduk sesuai dengan kelompok dongeng yang
sama. Ternyata terbentuk 4 kelompok dongeng, yaitu: Kelompok Laskar Pelangi, Kelompok
Pinokio, Kelompok Cinderlela,Kelompok Timun Mas. Tugas para siswa dalam
kelompok dongeng tersebut menukar sinopsisnya untuk saling membaca dan
berdiskusi memberi masukan satu sama lain. Di dalam kelompok, para siswa
menunjuk seorang siswa yang terampil untuk menjadi ketua kelompok.
Masing-masing ketua kelompok memberi contoh dalam mendongeng di dalam kelompok,
tetapi para siswa tetap diberi kebebasan untuk berimprovisasi dan mengembangkan
imaginasinya masing-masing sewaktu mendongeng. Kemudian guru menanyakan kepada
para siswa sekali lagi, “Apakah siap bercerita?” Serentak para siswa menjawab
“Siap, Bu!” Guru dengan segera mempersilakan para siswa satu per satu untuk
bercerita. Serentak ada 4 siswa yang secara bersamaan maju ke depan kelas,
akhirnya mereka saling mengalah, dan mempersilakan salah seorang siswa lebih
dulu mendongeng. Suasanan di dalam kelas sangat hidup, para siswa mampu mengembangkan
daya imaginasinya disertai dengan improvisasi dalam melakonkan para tokoh
dongeng. Para siswa yang belum bercerita sangat menikmati penempilan temannya,
mereka dengan gembira sekaligus memberi penilaian sesuai dengan rubrik
penilaian yang telah dibuat. Bila dalam bercerita, ada hal-hal yang lucu, para siswa
akan tertawa terbahak-bahak, tetapi bila ada yang menampilkan dongeng dengan
suasana sedih, maka kelas pun menjadi sunyi. Para siswa terbawa dengan suasana
dongeng yang dibawakan oleh temannya. Alur cerita yang disampaikan para siswa
sangat sesuai dan lancar. Dalam memerankan para tokoh, para siswa membawakan
dengan sangat ekspresif, tidak monoton. Tidak satu pun siswa yang mengantuk,
mereka betul-betul menikmati pembelajaran. Guru terutama sangat senang karena
semua siswa hadir/tidak ada yang absen. Hampir semua siswa bercerita di depan
kelas tanpa dipanggil namanya. Mereka dengan senang hati melakukannya, tinggal
3 orang siswa putra yang belum bercerita. Guru memanggil satu persatu nama
ketiga siswa agar mendongeng. Ketiga siswa diam saja, teman-temannya juga
memberi dorongan dengan tidak sabar agar ketiganya mau bercerita. Ketiganya
tetap tidak bereaksi. Kemudian guru menanyakan kepada ketiga siswa tersebut.”Mengapa
tidak mau kedepan?”, “Tidak hafal ceritanya, Bu!” jawab ketiga siswa putra
tersebut dengan takut-takut. Guru tidak membiarkan ketiga siswa tersebut
berlarut-larut, kemudian guru memanggil ketua-ketua kelompok dari ketiga siswa
tersebut. Ketua-ketua kelompok tersebut diberi penjelasan singkat oleh guru
agar mereka mendampingi siswa dalam mendongeng. Ketiga siswa putra tersebut
satu persatu mendongeng di depan kelas didampingi oleh ketua kelompok
masing-masing. Hingga akhirnya ketiga siswa putra tersebut menyelesaikan
dongengnya dengan cukup bagus. Sebelum pelajaran berakhir, guru menanyakan kepada
para siswa, “Bagaimana perasaan kalian terhadap pembelajaran yang telah
dilakukan ?” Para siswa hampir serentak menjawab , “Senang!” Kemudian guru
bertanya kembali, “Apakah skor penilaian ada kemajuan?” Para siswa menjawab,
“ada kemajuan, Bu!” Selanjutnya guru menugaskan salah seorang siswa untuk
mengumpulkan rubrik penilaian. Guru yang akan menghitung skor para siswa. Sesuai
yang diharapkan, maka hasil belajar siswa pada siklus kedua tampak lebih baik
dibandingkan pada siklus pertama. Skor rata-rata yang diperoleh siswa adalah
72. angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa telah mencapai ketuntasan
belajar.
Gambar 4.2 Perbandingan
skor hasil bercerita pada siklus pertama dan siklus kedua
Jumlah Siswa
30
25
22
20
15
10
7
5
30-49 50-59 60-69 70-79 80-89
Gambar
4.2 Kelompok skor
Dari
gambar diketahui bahwa siswa yang mencapai ketuntasan sekitar 85% atau sebanyak
39 siswa telah mencapai SKM yang ditentukan. Sebanyak 22 siswa mencapai nilai
antara 80-89, sedangkan yang mencapai rentang nilai 70-79 sebanyak 17 siswa.
Sedangkan sebanyak 3 siswa masih belum mencapai SKM karena berada di rentang
nilai 60-69. Peningkatan kemampuan bercerita siswa disertai meningkatnya
kemampuan siswa dalam menuangkan imaginasinya dalam bentuk tulisan. Selain itu,
rasa percaya diri siswa lebih meningkat. Keberhasilan implementasi model belajar
yang dipadu dengan teknik pembelajaran berbasis kontekstual tampak dari
pencapaian pada siklus pertama dan kedua sebagaimana disajikan pada tabel
berikut.
Tabel 4.1 Indikator
keberhasilan pada siklus pertama dan kedua
|
Pencapaian
siklus pertama
|
Pencapaian
siklus kedua
|
Sesuai SKM
Tidak sesuai SKM
|
28.26 %
71.74 %
|
85%
15%
|
Hasil
belajar yang menonjol adalah peningkatan pada ketuntasan hasil belajar siswa di
mana terjadi peningkatan dari 32% menjadi 85%. Keadaan tersebut menunjukkan
bahwa penerapan teknik pembelajaran berbasis kontekstual dapat meningkatkan
keterampilan berbicara siswa. Sistem penskoran pada rubrik penilaian disajikan
pada tabel 4.2.
Tabel 4.2 Rubrik penskoran
teknik pembelajaran berbasis kontekstual secara kualitatif
NO
|
Aspek Penilaian
|
Siklus Pertama
|
Siklus Kedua
|
||
Ya
|
Tidak
|
Ya
|
Tidak
|
||
1.
2.
3.
4.
5.
|
Keruntutan cerita
Penggunaan bahasa
Intonasi, lafal
Gesture,mimik
Kelancaran dan rasa percaya diri
|
V
|
V
V
V
V
|
V
V
V
V
V
|
|
PENUTUP
Penggunaan
model pembelajaran kontekstual dalam menceritakan kembali cerita anak yang
dibaca para siswa kelas VII SMP Katolik Sang Timur Malang dapat dilaksanakan
sesuai dengan RPP yang telah dikembangkan. Pelaksanaan pembelajaran berbicara
dengan model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan keberanian siswa dalam
bercerita. Hal ini juga dapat mengembangkan daya imaginasi mereka dan rasa
percaya diri. Penggunaan model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan
proses belajar, kualitas hasil belajar dengan kompetensi dasar “menceritakan
kembali cerita anak yang dibaca diintegrasikan dengan menyaksikan dongeng”,
siswa kelas VII SMP Katolik Sang Timur Malang. Ketuntasan siswa mencapai 85 %.
Namun 15 % siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar. Sebaiknya guru lebih
memberi motivasi siswa supaya kemampuan berbicara/bercerita para siswa lebih berkembang, percaya
diri..Sebaiknya guru lebih menyadari sepenuhnya bahwa siswa sebagai pebelajar
sangat memerlukan dukungan dan bantuan aktif dari guru,supaya siswa lebih maju.
Guru harus lebih kreatif dan inovatif dalam penggunaan media pembelajaran serta
sumber belajar.
DAFTAR RUJUKAN
Alwi. Hasan dkk. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dimyati dan Mudjiono. 1998. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara
Muslich,
Masnur. 2008. KTSP – Pembelajaran
Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara.
Roestiyah, N.K. 2008. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta
Sugiyono.
2008. Metode Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Karyono.Hari.2009.Penelitian Tindakan Kelas-Teori
dan praktik.Jawa Timur:Surya Pena Gemilang
Moleong,Lexy J.1989.Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung:CV Remaja Karya
Sudjana,Nana dan Ahmad Rivai.1989.Teknologi Pengajaran.Bandung: Sinar
Baru.
Santoso,Barokah dkk.2004. Belajar Berbahasa Belajar Berkomunikasi.
Malang: UM Press.
Ekowati.2005. Model-model Pembelajaran Interaktif.