hari itu si omen datang dengan semangat berlipat ganda. Ia bersiap dengan sjuta kata "bisa" yang tak terukur panjangnya. Ia lalu berangkat ke tujuan dengan suka cita. siang yang cerah jadi sahabat perjalanannya. Dengan kesan yang baik plus "tangan dinginnya" tim lawan takluk dibuatnya. dengan kegesitan dan kelincahannya, si omen berhak jadi jawara. semua bersuka ria atas keberhasilan yang omen raih. periode demi periode berlalu. semua berjalan biasa bahkan datar2 saja.
Si omen tampak frustasi di pertandingan terakhirnya kala melawan pendatang baru. Ini adalah jelang pensiunnya sang "hero" dari jagad yang sudah membesarkan namanya. tapi apa lacur, si Omen ternyata mencuri (dalam arti sebenarnya) raket milik sang pelatih. biarpun tidak jadi dihukum, itu sudah terlanjur jadi pergunjingan umum di kalangan selevelnya. secara menyakitkan, si Omen kalah dengan lawan yang sama sekali tidak diunggulkan.
Si Omen lupa dengan bagaimana cara mengalahkan lawan? ataukah dia sudah terlanjur "memaknai" bahkan lawan bukan selevel dengan dia? bukan, bukan itu, Si omen lupa dengan momentum ketika dia menjadi jawara untuk pertama kalinya. ada juga hukum karma yang berlaku di sana. Ia adalah nila setitik yang telah merusak susu sekuali besar. Pentingnya menjaga konsistensi "saat datang" dan "ketika pergi" juga jadi penyebabnya. mungkinkah kita jadi omen-omen berikunya?