Ijtihad
A.
Pengertian
ijtihad
Ijtihad berasal dari lafal ijtahada- yadtahidu- ijtihadan
yang berarti bersungguh sungguh atau berusaha keras. Adapun menurut istilah
hukum syarak, ijtihad adalah mencurahkan kesanggupan untuk mendapatkan hukum
syarak dari suatu dalil tafsili (rinci) dari dalil-dalil syariat.
Dengan kata lain, ijtihad adalah berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya,
baik dalam al-qur’an maupun hadis dengan menggunakan akal pikiran yang sehat
dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum yang telah
ditentukan. Orang yang berijtihad disebut mujtahid. Ijtihad hanya diperbolehkan
dalam perkara-perkara yang nasnya(hukumnya) tidak ada dalam al-qur’an dan
hadis. Apabila perkara-perkara itu sudah jelas dan dalilnya secara sahih dan
qat’i (jelas dan tegas) tidak diperkenankan untuk dilakukan ijtihad. Kewajiban
kita hanya melaksanakan hukum itu dengan sungguh-sungguh dan ikhlas karena
allah SWT. Semata.
B.
Syarat-syarat yang harus dimiliki
seseorang untuk melakukan ijtihad
1.
Paham terhadap al-qur’an berikut
asbabun nuzulnya.
2.
Paham tehadap hadis berikut
derajat dan asbabun nuzulnya.
3.
Paham terhadap ilmu usul fiqih.
4.
Paham benar terhadap bahasa arab
berikut cabang-cabangnya.
5.
Memahami nasikh dan mansukh
sehingga orang mujtahid tidak mengeluarkan hukum berdasarkan dalil yang sudah
di mansukh (dibatalkan).
6.
Paham terhadap ulama salaf
(terdahulu).
7.
Memilik keterampilan cara mengurai
dan menyimpulkan suatu persoalan.
8.
Memiliki keterampilan dalam mengambil
dan menetapkan hukum.
9.
Mukalaf(islam, dewasa, dan sehat
akal) dan berintelegensi cukup baik.
10.
Memahami ilmu usul fiqih ( cara
mengambil hukum syariat yang bertolak dari al-qur’an dan hadis) dengan baik.
Ijtihad
dijadikan sumber hukum islam yang ketiga setelah al-qur’an dan hadis istilah
ijtihad pertama kali muncul ketika Rasulullah SAW. Berialog dengan muaz bin
jabal. Waktu itu Rasulullah SAW. Bertanya, “ bagaimana jika dihadapkan kepadamu
suatu persoalan yang memerlukan ketetapan hukum? “ muaz menjawab, “ saya
menetapkan hukum dengan al-qur’an.” Rasul bertanya lagi, “ kalau seandainya
tidak ditemukan ketetapannya dengan al-qur’an? “ muaz menjawab, “ saya akan
tetap dengan hadis. “ Rasul bertanya lagi, “ kalau seandainya tidak ditemukan ketetapan dalam al-qur’an dan hadis? “ muaz
menjawab, “ saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri. “ setelah itu,
Rasulullah SAW. Menepuk-nepuk bahu muaz bin jabal tanda setuju. Keterangan
tersebut menjadi dalil bahwa menetapkan hukum berdasarkan ijtihad itu
dibolehkan. Islam tetap menghargai dan menjunjung tinggi hasil ijtihad meskipun
hasilnya salah satu terjadi perbedaan, selama ijtihad tersebut dilakukan sesuai
dengan persyaratan yang telah di tetapkan.