“Hore....aku naik kelas.” Itulah ekspresi hebat kalian (termasuk penulis) dulu semasa menjadi siswa SD manakala dinyatakan naik ke kelas/jenjang berikutnya. Apalagi jika mendapat peringkat, gempita senang jelas tergambar di wajah. Tapi kawan AJ, itu ekspresi masa lampau. Kini, ketika Anda sudah memasuki fase SMK (tingkat atas wajib belajar) naik kelas terasa biasa banget. Sepintas, kenaikan kelas ini hanyalah rutinitas yang dilakukan setiap tahun dari masa ke masa. Kegiatan rutin untuk mengikuti prosedur dan aturan yang berlaku seperti yang tertuang dalam kalender akademik sekolah pada umumnya. Apakah kalian juga beranggapan hal yang sama? Semoga tidak.
Kenaikan kelas bisa dimaknai hal yang luar biasa jika Anda menghargai benar perjuangan orang tua dalam menyekolahkan kita. Akan terasa benar maknanya jika meyakini (dan memang harus yakin) bahwa masa lalu – tingkat sebelumnya – tidak akan Anda alami lagi. Lebih jauh akan terasa penuh emosi jika kalian yakini (dan sepatutnya Anda yakin) bahwa tantangan baru, rintangan baru, dan segala hal yang baru dan lebih berbobot akan dijumpai.
Lantas apakah itu kenaikan kelas? Secara sederhana, kenaikan kelas adalah perubahan status numerik dari satu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi. Jika tinggal kelas itu berarti ia tetap berada di status numerik yang ada. Sesimpel itu. Namun sejatinya, ada hal lebih bermutu lain daripada numerik belaka. Jika kita naik kelas X, bersiaplah dengan jenjang baru. Tak lagi siswa menengah pertama yang terkesan masih anak-anak. Ada label remaja yang musti belajar dewasa menyertainya. Jika kita naik kelas XI, maka bersiaplah dengan the battle of life serupa praktik industri. Meski dalam tahap uji coba, namun begitulah dunia kerja yang nantinya akan kita akrabi, tekuni, dan berusaha kita nikmati. Jika naik kelas XII, kita juga harus bersiap dengan denting waktu yang semakin cepat menjemput kelulusan. Akan ada sederet cobaan sebelum lulus. Setelah lulus, gelombang cobaan akan lebih dahsyat dalam bingkai bermacam pigura. Ada kerja, nganggur, kuliah, bahkan yang ekstrem menikah.
Cara berpikir sederhana bisa dilakukan jika Anda ingin memaknai lebih dalam arti kenaikan kelas. Anda coba bayangkan jika Anda tidak naik kelas (maaf, bukan bermaksud menyindir yang tinggal kelas. Toh, ada banyak contoh survivor tinggal kelas lalu sukses di kemudian hari). Apa yang akan terjadi? Sebuah perjalanan panjang menaiki gunung kesuksesan akan terganjal bahkan bisa jadi tergelincir manakala hal tersebut kita alami.
Belajar acapkali diumpamakan mendaki gunung. Semakin tinggi fasenya, semakin susah pula jalur yang akan kita lewati. Begitu pula dalam hal belajar. Semakin tinggi tingkatan Anda, semakin susah pula untuk menjalaninya. Ketika mendaki gunung, hal yang ditemui juga sama. Pepohonan, bebatuan, dan sejenisnya. Tak akan ada kafe di sana. Akan ada kejenuhan yang melanda. Hal serupa juga terjadi dalam belajar. Bertemu dengan guru yang sama. Bersua dengan mata pelajaran yang sama. Segala hal yang sama akan jadi rutinitas.
Mengapa Anda tidak meniru gaya Anda dulu ketika duduk di bangku TK dan SD. Ketika TK, dengan bangganya ada berkata kelas B manakala naik tingkat. Anda tak malu meyakinkan orang tua dan yang lain bahwa “saya sudah TK B, sebentar lagi SD”. Ketika Anda di jenjang SD, begitu sumringah dan berkata “saya sudah SD, bu. Sudah berani ini-itu. Sudah bisa ini-itu”. Tingkat demi tingkat Anda ekspresikan benar dalam perbuatan, sikap, dan tingkah laku. Lebih jauh sikap positif juga masih tercermin kala jenjang SMP datang, ada keyakinan diri dalam berbuat. Anda seolah meyakini begitu istimewanya jenjang SMP tahun demi tahun.
Jangan sepelekan kenaikan kelas, sobat AJ. Jangan sampai kalian hanya menganggap bahwa naik kelas hal yang lumrah atau sudah tradisi. Jangan pula ada anggapan minor “belajar biasa wae toh tetep naik kelas”. Jadikanlah kenaikan tingkat demi tingkat sebagai multivitamin dalam menjemput esok yang lebih baik. Semoga. (Aluk)