KORUPSI DAN SOLUSI ISLAMI - Rasulullah SAW Bersabda : Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”. (‘Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu 'al
aihi wa sallam , seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata,"Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan." Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya,"Ada apa gerangan?” Dia menjawab,"Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas, Pen.)." Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata,"Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.” ( Riwayat Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3415 )
Menengok keadaan saat ini, betapa banyak orang yang melakukan perbuatan yang amat tercela ini. Bahkan hampir kita dapati dalam semua lapisan masyarakat, dari masyarakat yang paling bawah, menengah sampai kalangan atas. Khalayak pun kemudian menggolongkan para pelaku korupsi ini menjadi berkelas-kelas. Mulai koruptor kelas teri sampai kelas kakap.
Dalam lingkup masyarakat bawah, mungkin pernah atau bahkan banyak kita jumpai, seseorang yang mendapat amanah untuk membelanjakan sesuatu, kemudian setelah dibelanjakan, uang yang diberikan pemiliknya masih tersisa, tetapi dia tidak memberitahukan adanya sisa uang tersebut, meskipun hanya seratus rupiah, melainkan masuk ke ‘saku’nya, atau dengan cara memanipulasi nota belanja. Adapun koruptor kelas kakap, maka tidak tanggung-tanggung yang dia ‘embat’ sampai milyaran bahkan triliyunan
( Solusi Islam )
Tudingan bahwa agama Islam kejam, melanggar hak asasi manusia, terbelakang dan sangat primitive dalam penerapan hukuman, sudah lama dihembuskan oleh orang-orang yang dungu dan tidak mau berfikir jauh ke depan. Yaitu berupa emosi sesaat dan hanya memperhatikan kepentingan kelompok kecil yang bersalah dan yang berhak atas hukuman tersebut serta menutup mata dan telinga mereka terhadap masa depan masyarakat banyak dan orang-orang yang telah dirugikan dari pencurian ini.
Perlu di ingat, bahwa harta sangat berharga bagi manusia. Sehingga, dalam hal ini perhatian Islam kepada harta sangatlah besar, begitu pula perintah untuk menjaganya. Rasulullah n menyandingkan keharamannya dengan permasalahan nyawa.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَ الَكُمْ وَأَعْرَا ضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامُ، كَحُرْ مَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِيْ بَلَدِ كُمْ هَذَا، فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَأ
Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian diharamkan atas kalian, sebagaimana diharamkannya hari kalian pada saat ini, di tempat ini, dan di bulan ini [HR. Bukhâri]
Pernahkah mereka berpikir, bagaimanakah perasaan orang-orang yang kehilangan harta mereka?
Terlebih bila harta yang terambil adalah harta yang telah dikumpulkan selama bertahun-tahun, kemudian disimpan ditempat yang dianggap aman, ternyata hilang begitu cepat. Berpikirkah mereka, bagaimana dahsyatnya efek jera yang akan memberi keamanan bagi masyarakat luas setelahnya, dari hukuman potong tangan yang mereka anggap sebagai pelanggar norma kehidupan mereka?
Hak asasi siapakah yang mereka perjuangkan?
Dalam kasus pencurian ini, syariat Islam berusaha menjaga kepentingan orang banyak daripada menjaga kepentingan si pencuri. Memberi hukuman yang berat berupa memotong tangan bertujuan membasmi sesuatu yang menjadikan kecemasan manusia pada harta mereka. Sehingga Allah Azza wa Jalla menjadikannya sebagai cambuk untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar dibandingkan dengan kepentingan si pencuri yang hanya sesaat dan banyak menimbulkan kerusakan. Ini adalah hukuman yang setimpal yang penuh faedah dan hikmah.
Bila seseorang mau berpikir, hukuman setimpal bukan berarti menzhalimi si pelaku, tetapi ini merupakan keadilan dalam peraturan Allah Azza wa Jalla yang pasti baik bagi makhluk-Nya karena hanya Dia-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatunya. Bila hukuman ini dibiarkan diatur oleh seorang mujtahid atau seorang hakim atau kelompok tertentu, pasti akan menyebabkan saling bertentangan. Dan hasilnya tidak dapat dipastikan akan dapat mewujudkan suatu keadilan yang dapat dirasakan oleh manusia, sehingga merasa tenang dari kezhaliman dan kekerasan orang lain.
( Ada Syarat Khusus, Tidak asal-asalan )
Hukum potong tangan bukanlah hukuman yang asal dilakukan tanpa ada kriteria tertentu. Namun ia adalah hukuman yang adil, yang harus dipenuhi kriterianya, sehingga pelakunya benar-benar berhak untuk dipotong tangannya supaya menghasilkan efek jera baginya dan bagi orang lain, tanpa mengabaikan hak si pelakunya.
Syarat yang harus dipenuhi dari pelaku pencurian itu sendiri, antara lain:
• Ia seorang yang mukallaf, berniat untuk mencuri, tidak terpaksa dalam mencuri, tidak didapati adanya hubungan antara pencuri dengan yang dicuri dan tidak ada syubhat dalam melakukan pencurian. Yang dimaksud dengan mukallaf adalah seorang yang baligh dan berakal.
• Tidak terpaksa, bukan seorang yang dipaksa oleh orang lain untuk melaksanakan pencurian, dengan ancaman yang membahayakan nyawanya.
• Tidak didapati adanya hubungan kekerabatan, di sini pengertiannya adalah harta yang dicuri bukan harta anaknya sendiri. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “ Kamu dan harta kamu adalah milik bapak kamu”, atau harta bapak atau orang tuanya sendiri (menurut pendapat mayoritas para ulama). Karena anaknya adalah bagian dari orang yang akan mewarisi hartanya dan ia masih bertanggung jawab untuk memberikan nafkah kepadanya, atau dari harta suaminya atau istrinya. Adapun hubungan keluarga/kekerabatan yang lainnya maka tidak ada pengaruhnya .
• Tidak ada syubhat dalam melakukan pencurian. Maksudnya adalah tidak dalam kondisi terpaksa dalam melakukannya, misalnya ia lapar, sangat membutuhkan harta, dan sebagainya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Ini adalah syubhat yang kuat yang dapat memalingkan hukum had karena ia sangat membutuhkannya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman Artinya :
Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" [Al-Ma'idah : 50]
( Ancaman bagi Koruptor )
Pelaku ghulul (korupsi) akan dibelenggu, atau ia akan membawa hasil korupsinya pada hari Kiamat, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat ke-161 surat Ali Imran dan hadits ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu 'anhu di atas. Dan dalam hadits Abu Humaid as Sa’idi Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
((... وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ...))
"Demi (Allah), yang jiwaku berada di tanganNya. Tidaklah seseorang mengambil sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jjika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …”
2. Perbuatan korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari Kiamat.
Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
((... فَإِنَّ الْغُلُولَ عَارٌ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشَنَارٌ وَنَارٌ))
"…(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya".
3. Orang yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak mendapat jaminan atau terhalang masuk surga. Hal itu dapat dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
((مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنْ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ))
"Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan hutang".
4. Allah tidak menerima shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi), sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
((لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ))
"Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta ghulul (korupsi)"
Menengok keadaan saat ini, betapa banyak orang yang melakukan perbuatan yang amat tercela ini. Bahkan hampir kita dapati dalam semua lapisan masyarakat, dari masyarakat yang paling bawah, menengah sampai kalangan atas. Khalayak pun kemudian menggolongkan para pelaku korupsi ini menjadi berkelas-kelas. Mulai koruptor kelas teri sampai kelas kakap.
Dalam lingkup masyarakat bawah, mungkin pernah atau bahkan banyak kita jumpai, seseorang yang mendapat amanah untuk membelanjakan sesuatu, kemudian setelah dibelanjakan, uang yang diberikan pemiliknya masih tersisa, tetapi dia tidak memberitahukan adanya sisa uang tersebut, meskipun hanya seratus rupiah, melainkan masuk ke ‘saku’nya, atau dengan cara memanipulasi nota belanja. Adapun koruptor kelas kakap, maka tidak tanggung-tanggung yang dia ‘embat’ sampai milyaran bahkan triliyunan
( Solusi Islam )
Tudingan bahwa agama Islam kejam, melanggar hak asasi manusia, terbelakang dan sangat primitive dalam penerapan hukuman, sudah lama dihembuskan oleh orang-orang yang dungu dan tidak mau berfikir jauh ke depan. Yaitu berupa emosi sesaat dan hanya memperhatikan kepentingan kelompok kecil yang bersalah dan yang berhak atas hukuman tersebut serta menutup mata dan telinga mereka terhadap masa depan masyarakat banyak dan orang-orang yang telah dirugikan dari pencurian ini.
Perlu di ingat, bahwa harta sangat berharga bagi manusia. Sehingga, dalam hal ini perhatian Islam kepada harta sangatlah besar, begitu pula perintah untuk menjaganya. Rasulullah n menyandingkan keharamannya dengan permasalahan nyawa.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَ الَكُمْ وَأَعْرَا ضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامُ، كَحُرْ مَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِيْ بَلَدِ كُمْ هَذَا، فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَأ
Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian diharamkan atas kalian, sebagaimana diharamkannya hari kalian pada saat ini, di tempat ini, dan di bulan ini [HR. Bukhâri]
Pernahkah mereka berpikir, bagaimanakah perasaan orang-orang yang kehilangan harta mereka?
Terlebih bila harta yang terambil adalah harta yang telah dikumpulkan selama bertahun-tahun, kemudian disimpan ditempat yang dianggap aman, ternyata hilang begitu cepat. Berpikirkah mereka, bagaimana dahsyatnya efek jera yang akan memberi keamanan bagi masyarakat luas setelahnya, dari hukuman potong tangan yang mereka anggap sebagai pelanggar norma kehidupan mereka?
Hak asasi siapakah yang mereka perjuangkan?
Dalam kasus pencurian ini, syariat Islam berusaha menjaga kepentingan orang banyak daripada menjaga kepentingan si pencuri. Memberi hukuman yang berat berupa memotong tangan bertujuan membasmi sesuatu yang menjadikan kecemasan manusia pada harta mereka. Sehingga Allah Azza wa Jalla menjadikannya sebagai cambuk untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar dibandingkan dengan kepentingan si pencuri yang hanya sesaat dan banyak menimbulkan kerusakan. Ini adalah hukuman yang setimpal yang penuh faedah dan hikmah.
Bila seseorang mau berpikir, hukuman setimpal bukan berarti menzhalimi si pelaku, tetapi ini merupakan keadilan dalam peraturan Allah Azza wa Jalla yang pasti baik bagi makhluk-Nya karena hanya Dia-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatunya. Bila hukuman ini dibiarkan diatur oleh seorang mujtahid atau seorang hakim atau kelompok tertentu, pasti akan menyebabkan saling bertentangan. Dan hasilnya tidak dapat dipastikan akan dapat mewujudkan suatu keadilan yang dapat dirasakan oleh manusia, sehingga merasa tenang dari kezhaliman dan kekerasan orang lain.
( Ada Syarat Khusus, Tidak asal-asalan )
Hukum potong tangan bukanlah hukuman yang asal dilakukan tanpa ada kriteria tertentu. Namun ia adalah hukuman yang adil, yang harus dipenuhi kriterianya, sehingga pelakunya benar-benar berhak untuk dipotong tangannya supaya menghasilkan efek jera baginya dan bagi orang lain, tanpa mengabaikan hak si pelakunya.
Syarat yang harus dipenuhi dari pelaku pencurian itu sendiri, antara lain:
• Ia seorang yang mukallaf, berniat untuk mencuri, tidak terpaksa dalam mencuri, tidak didapati adanya hubungan antara pencuri dengan yang dicuri dan tidak ada syubhat dalam melakukan pencurian. Yang dimaksud dengan mukallaf adalah seorang yang baligh dan berakal.
• Tidak terpaksa, bukan seorang yang dipaksa oleh orang lain untuk melaksanakan pencurian, dengan ancaman yang membahayakan nyawanya.
• Tidak didapati adanya hubungan kekerabatan, di sini pengertiannya adalah harta yang dicuri bukan harta anaknya sendiri. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “ Kamu dan harta kamu adalah milik bapak kamu”, atau harta bapak atau orang tuanya sendiri (menurut pendapat mayoritas para ulama). Karena anaknya adalah bagian dari orang yang akan mewarisi hartanya dan ia masih bertanggung jawab untuk memberikan nafkah kepadanya, atau dari harta suaminya atau istrinya. Adapun hubungan keluarga/kekerabatan yang lainnya maka tidak ada pengaruhnya .
• Tidak ada syubhat dalam melakukan pencurian. Maksudnya adalah tidak dalam kondisi terpaksa dalam melakukannya, misalnya ia lapar, sangat membutuhkan harta, dan sebagainya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Ini adalah syubhat yang kuat yang dapat memalingkan hukum had karena ia sangat membutuhkannya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman Artinya :
Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" [Al-Ma'idah : 50]
( Ancaman bagi Koruptor )
Pelaku ghulul (korupsi) akan dibelenggu, atau ia akan membawa hasil korupsinya pada hari Kiamat, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat ke-161 surat Ali Imran dan hadits ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu 'anhu di atas. Dan dalam hadits Abu Humaid as Sa’idi Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
((... وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ...))
"Demi (Allah), yang jiwaku berada di tanganNya. Tidaklah seseorang mengambil sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jjika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …”
2. Perbuatan korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari Kiamat.
Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
((... فَإِنَّ الْغُلُولَ عَارٌ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشَنَارٌ وَنَارٌ))
"…(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya".
3. Orang yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak mendapat jaminan atau terhalang masuk surga. Hal itu dapat dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
((مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنْ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ))
"Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan hutang".
4. Allah tidak menerima shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi), sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
((لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ))
"Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta ghulul (korupsi)"