22 November 2016

Pengertian dan Syarat Ijtihad



Ijtihad
A.      Pengertian ijtihad
Ijtihad berasal dari lafal ijtahada- yadtahidu- ijtihadan yang berarti bersungguh sungguh atau berusaha keras. Adapun menurut istilah hukum syarak, ijtihad adalah mencurahkan kesanggupan untuk mendapatkan hukum syarak dari suatu dalil tafsili (rinci) dari dalil-dalil syariat. 
Dengan kata lain, ijtihad adalah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam al-qur’an maupun hadis dengan menggunakan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum yang telah ditentukan. Orang yang berijtihad disebut mujtahid. Ijtihad hanya diperbolehkan dalam perkara-perkara yang nasnya(hukumnya) tidak ada dalam al-qur’an dan hadis. Apabila perkara-perkara itu sudah jelas dan dalilnya secara sahih dan qat’i (jelas dan tegas) tidak diperkenankan untuk dilakukan ijtihad. Kewajiban kita hanya melaksanakan hukum itu dengan sungguh-sungguh dan ikhlas karena allah SWT.  Semata. 

B.      Syarat-syarat yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan ijtihad
1.       Paham terhadap al-qur’an berikut asbabun nuzulnya.
2.       Paham tehadap hadis berikut derajat dan asbabun nuzulnya.
3.       Paham terhadap ilmu usul fiqih.
4.       Paham benar terhadap bahasa arab berikut cabang-cabangnya.
5.       Memahami nasikh dan mansukh sehingga orang mujtahid tidak mengeluarkan hukum berdasarkan dalil yang sudah di mansukh (dibatalkan).
6.       Paham terhadap ulama salaf (terdahulu).
7.       Memilik keterampilan cara mengurai dan menyimpulkan suatu persoalan.
8.       Memiliki keterampilan dalam mengambil dan menetapkan hukum.
9.       Mukalaf(islam, dewasa, dan sehat akal) dan berintelegensi cukup baik.
10.   Memahami ilmu usul fiqih ( cara mengambil hukum syariat yang bertolak dari al-qur’an dan hadis) dengan baik.
  
     Ijtihad dijadikan sumber hukum islam yang ketiga setelah al-qur’an dan hadis istilah ijtihad pertama kali muncul ketika Rasulullah SAW. Berialog dengan muaz bin jabal. Waktu itu Rasulullah SAW. Bertanya, “ bagaimana jika dihadapkan kepadamu suatu persoalan yang memerlukan ketetapan hukum? “ muaz menjawab, “ saya menetapkan hukum dengan al-qur’an.” Rasul bertanya lagi, “ kalau seandainya tidak ditemukan ketetapannya dengan al-qur’an? “ muaz menjawab, “ saya akan tetap dengan hadis. “ Rasul bertanya lagi, “ kalau seandainya tidak ditemukan  ketetapan dalam al-qur’an dan hadis? “ muaz menjawab, “ saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri. “ setelah itu, Rasulullah SAW. Menepuk-nepuk bahu muaz bin jabal tanda setuju. Keterangan tersebut menjadi dalil bahwa menetapkan hukum berdasarkan ijtihad itu dibolehkan. Islam tetap menghargai dan menjunjung tinggi hasil ijtihad meskipun hasilnya salah satu terjadi perbedaan, selama ijtihad tersebut dilakukan sesuai dengan persyaratan yang telah di tetapkan.