Nafsu adalah salah satu roh penciptaan manusia. Itulah yang menyebabkan semua aktivitas manusia selalu dikendalikan oleh nafsu, termasuk akal sehatnya. Masalahnya adalah tidak semua nafsu manusia itu didasari oleh akal pikiran yang logis-sehat dan dituntun oleh norma-norma agama dan budaya. Bahkan, ada kecenderungan “nafsu putih” semakin hari semakin tergerus oleh “nafsu hitam”. Tuhan memang menjanjikan bahwa kebenaran dan tuntunan itu akan selalu menang, tetapi Tuhan tidak menggaransi hal itu selalu lestari. Dunia memang sudah semakin tua dan lelah…., menggunakan pertahanan gerendel dan parkir bis, seperti dalam permainan sepak bola pun akan tetap dapat tertembus juga jantung pertahanannya sehingga gol “kehancuran” tinggal menunggu waktunya.
Dan, hanya manusia yang berpikiran kokoh dan memandang sesuatu dengan datar dan positif sajalah yang akan menjadi bagian kecil dari manusia yang dapat menjaga ekspektasinya secara benar terhadap dunia, menjadi manusia yang teguh dalam jatidirinya.
@
Seorang penjual nasi dan mie goreng, Usman, begitu ia biasa dipanggil, meskipun namanya sebenarnya cukup panjang, Andika Usmanda Ramadlan Armada Pahala Kentjana, sebulan terakhir ini tidak pernah libur berjualan. Bahkan, ia mempersiapkan dagangan lebih awal dan pulang jauh lebih malam. Padahal, biasanya sehabis bermalam sabtuan dan bermalam mingguan, karena sangat laris dagangannya, yang berarti juga semakin banyak mengantongi keuntungan yang didapatnya, ia selalu mengambil libur satu-dua hari. Maklum, kebiasaan wiraswastawan Jawa, kalau memegang uang cukup banyak bawaannya lelah, ngantuk, dan kepingin libur saja.
Selidik punya selidik, ada yang mendasari kegigihan Usman tidak pernah libur dalam sebulan terakhir ini: ia dan keluarganya akan ke Bali bersama rombongan warga desanya. Pulau yang telah masyhur di dunia itu seolah impian yang selangkah lagi akan didapatkan. Ia menyambut kegembiraan itu seperti tukang bubur mau berangkat haji saja. Atau, Ken Arok yang tidak tahan esok, ingin segera mempersunting Ken Dedes setelah melihat sinar menerangi betisnya. Atau, seperti kau, anak-anakku, yang serasa tercekat menunggu pengumuman kelulusan yang sebenarnya sudah terjadwal.
Sehari sebelum keberangkatan, ia ajak anak dan istrinya ke pasar untuk belanja berbagai keperluan. Baju, kaos, atau apapun dibelinya untuk persiapan ritual ke Pulau Dewata tersebut. Ia merasa harus perfek menyiapkannya karena tidak semua orang berkesempatan ke sana. Apalagi, tidak semua orang kampung bisa ikut rombongan tour tersebut karena keterbatasan dana. Apalagi, pasti ia akan bangga bisa bercerita kepada para pelanggan nasi dan mie gorengnya nanti sepulang dari sana. Pasti banyak orang yang akan ikut bangga bahkan terkagum-kagum dengan ceritanya. Ah….
Tak terasa, bis rombongan pun telah memasuki pelataran parkir pantai Kuta. Pagi masih malas menggeliat, tapi semangat dan gairah anggota rombongan tampak mampu mengalahkan lelah yang menerpa. Mereka ingin segera menyantap Kuta dengan sunset indahnya. Mereka juga ingin menikmati pasir putih dengan aneka pemandangan yang terhampar di atasnya. Para turis sangat domestik ini ingin segera berselancar dengan segala bayangan tentang Bali, eksotisme, nudisme, “audoisme” yang sejak kemarin memenuhi otaknya. Bali adalah gairah, Bali adalah bahagia yang membuncah, Bali adalah kesenangan tiada tara. Itulah pikiran yang telah mengendap dalam alam bawah sadar mereka. Itulah ekspektasi tinggi mereka.
Ketika lelah kaki melangkah, dan yang didapatkan hanya hal-hal yang biasa-biasa saja, galau di hati mulai terasa. Usman, lelaki ceking penjual nasi dan mie goreng itu, mulai membanding-bandingkan tempat yang pernah dikunjunginya. Pasir Putih Situbondo tak kalah dengan Kuta, Pantai Karanggongso di timur Perigi Trenggalek sana jauh lebih alami, bahkan kalau Bali “hanya” seperti ini, pikirnya, cukup ke Waterpark Kertosono saja. Toh, untuk sekadar mendapatkan cenderamata, di banyak tempat juga bisa didapatkannya. Usman semakin gundah karena masih dua hari lagi kegiatan akan diikutinya. Itu berarti masih banyak rupiah yang akan dikeluarkannya. Tapi ia sudah berkesimpulan: tidak akan mendapatkan apa-apa. Bali hanyalah fatamorgana.
@
Pembaca, Usman, bisa jadi adalah replika dari sebagian kita. Pada waktu tertentu, kita seringkali mempunyai ekspektasi terlalu tinggi dari yang akan kita hadapi. Harapan yang berlebihan kadang membuat kita tidak berpijak ke bumi. Kita berdiri di awang-awang. Kita tidak dilarang untuk mempunyai harapan, setinggi apapun. Tetapi, kita tetap harus mengukur kondisi dan modal dasar yang kita miliki. Inilah pentingnya penguatan mental melalui tuntunan norma agama dan budaya itu. Juga inilah yang menunjukkan pentingnya pengalaman, pemahaman, dan pengetahuan tentang sesuatu.
Akhirnya, marilah kita tetap berpijak pada kenyataan. Kenyataan yang ada pada kita sehingga kita tidak galau saat melangkah. (Ghoz)