01 March 2016

Joko Umbaran di Cerme Kidul

             
            Cerita ini memang bukan soal asal usul nama desa/dusun yang ada di wilayah Gresik. Cerita ini justru memfokuskan pada satu tokoh yang bisa jadi sangat dikenal publik Gresik, utamanya oleh masyarakat Cerme. Namun, kami seolah diharuskan untuk menuturkan cerita ini ke AJ Lovers mengingat lokasi dan keberadaannya sangat dekat dengan sekolah kita. Berikut hasil pitutur yang kami dapatkan berkaitan tokoh tersebut. 
             Joko Umbaran adalah nama yang melegenda di wilayah Cerme. Tokoh yang dikenal sebagai seorang prajurit Giri ini sangat disegani. Beliau turut pula dalam peperangan melawan pasukan dari Kerajaan Majapahit yang memang dipersiapkan untuk menggempur dan menguasai Kerajaan Giri Gresik. Pribadinya yang santun dan baik terkenal dengan prilakunya yang Mo limo: Mo (tidak mau) main (berjudi), maling, minum (mabuk-mabukan), madon (suka bermain perempuan), dan madat (obat terlarang). Kelima hal tersebut sangat dijauhi oleh sang jagoan ini. Joko Umbaran yang merupakan prajurit jagoan ini dikenal memiliki udeng yang terbuat dari kain sewek yang diikatkan kepalanya. Udeng sewek Parang Centel dengan motif batik yang menjadi ciri khas beliau. 
       Suatu kali, dalam peperangan yang seru, Joko Umbaran yang merupakan prajurit sakti mandraguna menjadi sasaran musuh-musuhnya. Bertubi-tubi serangan endarat di tubuhnya. Meskipun banyak musuh yang dikalahkan, namun beliau terluka terkena sabetan senjata. Akhirnya, dengan terhormat sang pejuang ini meninggal dalam peperangan tersebut. Jenazahnya disemayamkan di bawah pohon (warga setempat menyebutnya wit Karang Loh). Menurut cerita yang berkembang, makam beserta wit Karang Loh sudah tidak ada lagi. Diyakini warga lokasinya berada di kompleks makam di sebelah selatan sekolah kita. 
             Bisa jadi, nama “Jurit” juga erat kaitannya dengan istilah “prajurit” – label yang disandang oleh Joko Umbaran. Warga juga meyakini bahwa beliau adalah mbah buyut Desa Cerme Kidul. Bahkan untuk menghormati beliau, anak cucunya memberikan pantangan untuk mengenakan sewek parang centel. Mereka beranggapan bahwa hanya orang baik dan oran suci seperti beliaulah yang pantas mengenakan, bukan sembarang orang. (buku “sang Gresik bercerita” dengan perubahan)