19 December 2012

PTK : PENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL (CTL)


 PENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI 
PENDEKATAN KONTEKSTUAL (CTL)

Ngatmi
SMPK Sang Timur Malang
Jl. Bandung No. 2 Malang
MGMP BAHASA INDONESIA
SMP/ MTs KOTA MALANG


Abstract. The purpose of this research is to know whether the using of CTL can help the teacher in story telling lesson or not as a language skill in Indonesia language education to the students in school. Beside that, to know whether CTL is able to repair the students’ learning quality or not. CTL learning model is one of contextual learning method that suitable with constructivism learning that want to build and develop students’ imagination and confidencial to create the true learning. This research is consist of speaking skill material with basic competence “retell the students’ story that had already read,” learned in 7th grade, in Sang Timur Catholic Junior High School of Malang. Technic of data analysis used in this research is data reduction, data showing, summarizing. This research is able to increase students’ confidencial to telling a story, although in telling a story was still not perfect. But, the use of this model can increase learning process and the result.
Key word: speaking skill, CTL  
Abstrak. Tujuan penelitian ini mendeskripsikan apakah penggunaan CTL dapat membantu guru dalam pembelajara bercerita sebagai suatu  keterampilan berbahasa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia kepada siswa di sekolah. Selain itu apakah penggunaan CTL dapat memperbaiki kualitas pembelajaran berbicara para siswa. Model pembelajaran CTL merupakan salah satu metode pembelajaran berbasis kontekstual yang berorientasi pada model pembelajaran konstruktivisme yang berupaya membangun dan mengembangkan daya imaginasi dan rasa percaya diri sehingga terjadi pembelajaran yang bermakna. Penelitian ini meliputi materi keterampilan berbicara dengan kompetensi dasar “ menceritakan kembali cerita anak yang dibaca,” diajarkan di kelas VII, di SMPK Sang Timur Malang. Teknik analisis data yang digunakan adalah mereduksi data , menyajikan data, penarikan kesimpulan. Penelitian ini ternyata dapat meningkatkan keberanian siswa dalam bercerita, walaupun dalam bercerita belum sesempurna yang diharapkan. Namun, demikian penggunaan model ini dapat meningkatkan proses belajar dan hasil.  
Kata Kunci : Keterampilan berbicara, CTL
Berbicara khususnya bercerita adalah suatu keterampilan berbahasa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia yang harus dilatihkan guru kepada siswa. Berdasarkan kurikulum standar isi, pembelajaran Bahasa Indonesia terbagi dalam empat aspek yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, menulis. Siswa SMP sebenarnya sudah sejak SD telah memperoleh pelajaran Bahasa Indonesia khususnya aspek berbicara. Walaupun demikian, di SMP ketika siswa diminta untuk bercerita ternyata masih banyak yang enggan, hal itu dikarenakan cara atau pola yang dilakukan guru SD maupun guru SMP sama.
Siswa diberi tugas mencari sebuah buku dongeng, kemudian diberi waktu satu minggu untuk membaca, setelah itu anak-anak diberi tugas untuk menceritakan kembali cerita yang sudah dibaca. Apabila cara atau pola seperti itu tetap dilakukan, maka keterampilan siswa dalam bercerita belum meningkat. Selain itu akan membuat siswa merasa terbebani dan merasa bosan, takut, sehingga pada waktunya mendongeng ada siswa yang tidak hadir di sekolah. Sedangkan siswa yang hadir pun sangat sulit ketika disuruh bercerita di depan kelas. Apabila cara atau pola yang diuraikan di atas berlangsung terus, maka keterampilan berbicara siswa kurang berkembang. Di lingkungan pendidikan, siswa tidak akan menyadari pentingnya keterampilan berbicara agar bisa menjalin komunikasi dengan guru,dengan stap tata usaha,dengan sesama siswa. Apabila hal itu terus berlangsung maka yang terjadi siswa akan takut untuk mengajukan pertanyaan bila ada materi yang tidak mereka mengerti, dan ragu-ragu.
         Apabila cara atau pola yang diuraikan di atas berlangsung terus, maka keterampilan berbicara siswa kurang berkembang. Di lingkungan pendidikan, siswa tidak akan menyadari pentingnya keterampilan berbicara agar bisa menjalin komunikasi dengan guru,dengan stap tata usaha,dengan sesama siswa. Apabila hal itu terus berlangsung maka yang terjadi siswa akan takut untuk mengajukan pertanyaan bila ada materi yang tidak mereka mengerti, dan ragu-ragu dalam menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru. Sedangkan di dalam lingkungan keluarga, mereka akan sulit dalam berkomunikasi  baik dengan anggota keluarga lainnya. Hal ini juga akan berdampak pada kemampuan berinteraksi mereka di lingkungan masyarakat.
         Masih rendahnya kualitas berbicara siswa dapat diketahui dari beberapa indikator, yaitu kualitas proses dan hasil belajar. Kulaitas proses pembelajaran dapat diamati dari bagaimana aktivitas siswa, interaksi guru/siswa, interaksi antar siswa, dan motivasi belajar siswa. Sedangkan kualitas hasil belajar dapat diamati dari pr SMPK Sang Timur Malang menunjukkan bahwa keterampilan berbicara sebagian besar siswa belum tuntas (syarat ketuntasan 70). Disamping itu, pembelajaran masih sebatas membaca buku dongeng kemudian siswa diminta untuk menceritakan kembali. Untuk memperbaiki kualitas pembelajaran berbicara di SMP, perlu diterapkan pembelajaran inovatif. Pembelajaran inovatif merupakan pembelajaran yang memberi peluang pada siswa untuk mengaktualisasikan diri. Berdasarkan pengamatan, perlu dilakukan optimalisasi pembelajaran berbicara di SMP. Salah satu metode pembelajaran yang sesuai dengan hakikat berbicara adalah metode pembelajaran yang berbasis kontekstual (CTL). Model pembelajaran CTL yang telah diujicobakan di sekolah merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kontruktivisme sehingga dapat digunakan untuk mengatasi masalah berbicara. Model pembelajaran tersebut perlu dioptimalkan agar terjadi pembelajaran yang bermakna sesuai dengan paradigma kontruktivisme. Dalam pembelajaran kontekstual, ada tujuh pilar yang perlu diterapkan secara optimal. Tujuh pilar itu adalah kontruktivisme (contruktivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), penilaian sebenarnya (authentic assessment), dan refleksi (reflecting).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (a) apakah metode kontekstual dapat meningkatkan kualitas proses belajar keterampilan berbicara siswa kelas VII SMP, (b) apakah penerapan model pembelajaran kontekstual (CTL) dapat meningkatkan kualitas hasil belajar keterampilan. Untuk itu, penelitian ini menggunakan model konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman-pengalaman. Sifat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldawin dan dikembangkan serta diperdalam oleh Jean Piaget yang menganggap bahwa pengetahuan itu terbentuk bukan hanya dari objek semata, akan tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subyek yang menangkap setiap objek yang diamatinya. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari luar, akan tetapi dikonstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang. Maka, pengetahuan terbentuk oleh dua faktor penting, yaitu objek yang menjadi bahan pengetahuan terbentuk oleh peran subjek untuk menginterprestasi objek tersebut. Kedua faktor tersebut sama pentingnya. Dengan demikian pengetahuan itu bukanlah bersifat statis melainkan bersifat dinamis, tergantung pada individu yang melihat dan mengkonstruksinya. Lebih jauh Piaget menyatakan bahwa hakikat pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang diperlukan untuk pengetahuan. Sedangkan pengetahuan sendiri dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi yang membentuk pengetahuan itu bila konsepsi tersebut berlaku ketika berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang. Pembelajaran yang berciri konstruktivisme menekankan terbangunnya pemahaman sendiri secara aktif, kreatif, dan produktif berdasarkan pengetahuan sekarang dan yang terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna. (Muslich, 2008:44-45). Pengetahuan bukanlah serangkaian kata, konsep, dan kaidah yang siap dipraktikkannya. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan tersebut terlebih dahulu kemudian memberikan makna melalui pengalaman nyata. Karenanya, siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan mengembangkan ide-ide yang ada pada dirinya. Atas dasar pengetahuan tersebut, prinsip dasar konstruktivisme yang dalam pembelajaran harus dipegang oleh guru adalah sebagai berikut: proses pembelajaran lebih utama daripada hasil pembelajaran.
METODE
         Dalam menganalisis hasil penelitian, tidaklah lepas dari metode penelitian. Metode penelitian ini dipakai sebagai tolok ukur dalam menentukan arah kegiatan agar tujuan yang diharapkan semula dapat tercapai. Selain itu, manfaat lain dari metode penelitian ini adalah untuk memperoleh data yang relevan, dapat dipercaya, dan dapat memecahkan masalah yang dihadapi. Maka, penelitian merupakan suatu proses yang terorganisir dan sistematis dengan menggunakan metode ilmiah serta aturan yang berlaku untuk menentukan jawaban dari fenomena yang terjadi. Rancangan penelitian dapat diartikan sebagai strategi mengatur latar penelitian agar peneliti dapat memperoleh data yang valid sesuai dengan karakter variabel serta tujuan penelitian. (PPKI-UM, 2005:15)
         Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (classroom action research) yang berusaha mengkaji dan merefleksikan secara mendalam beberapa aspek dalam kegiatan belajar mengajar. Beberapa aspek tersebut antara lain partisipan siswa, interaksi guru-siswa, interaksi antar siswa. Hal ini peru dilakukan untuk dapat menjawab permasalahan penelitian, dan kemampuan siswa dalam bercerita. Penelitian ini dibagi dalam dua siklus yang disesuaikan dengan alokasi waktu dan topik yang dipilih. Menurut Kemmis dan MC Taggart (1988), masing-masing siklus terdiri dari empat langkah. Langkah-langkah tersebut antara lain: 1. Perencanaan beberapa hal yang dilakukan di dalam perencanaan adalah merumusan masalah, menentuan tujuan dan metode penelitian, serta membuat rencana tindakan. Tindakan yang dilakukan sebagai upaya perubahan yang dilakukan adalah observasi ini menuntut tindakan yang dilakukan secara sistematis untuk mengamati hasil atau dampak tindakan terhadap proses belajar mengajar. Kemudian melakukan refleksi merupakan tindakan yang mengkaji dan mempertimbangkan hasil atau tindakan yang dilakukan.
          Data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah aspek kognitif yang diambil dari nilai berbicara/menceritakan kembali dongeng yang dibaca dan disaksikan baik dari film layar lebar,maupun dari CD dongeng.Nilai akhir diambil dari penilaian siswa dan penilaian guru,kedua nilai kemudian direkap menjadi satu nilai akhir.Sumber data adalah siswa kelas VIIA,dan kelas VIIB SMPK Sang Timur Malang semester I,dengan jumlah siswa 43 orang. Adapun instrumen penelitian untuk menyimpulkan data adalah rubrik penilaian berbicara/menceritakan kembali suatu cerita baik dari membaca buku,maupun dari hasil menyaksikan film layar lebar maupun dari CD dongeng. Selanjutnya analisis data menggunakan berupa : 1. Mereduksi data, pada tahap ini,data berupa nilai didapat dari penilaian yang dilakukan siswa terhadap teman-temannya pada waktu mendongeng dengan penilaian dari guru.Hasil kedua nilai kemudian direkap menjadi satu nilai dalam setiap siklus.Peneliti juga membuat catatan lapangan yang disusun secara sederhana kemudian dijadikan laporan yang sistematis. Selanjutnya penyajian data dilakukan dengan mendeskripsikan secara naratif data-data dan informasi-informasi yang diperoleh dari hasil reduksi sehingga mempermudah penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Sedangkan penarikan kesimpulan dilakukan terhadap temuan-temuan penelitian yang selanjutnya diverifikasikan.Kriteria keberhasilan siswa diukur dengan ketuntasan hasil belajar daya serap,maka diperlukan adanya analisis hasil bercerita pada setiap siklus sebagai berikut: Seorang peserta didik dikatakan telah tuntas belajar bila ia mencapai Nilai Ketuntasan Minimum yaitu nilai 70, dan suatu kelas dikatakan tuntas belajar bila di kelas terdapat 80% dari jumlah siswa mencapai nilai 70. Secara operasional, prosedur penelitian tindakan kelas yang diterapkan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut: Perencanaan tindakan berdasarkan tujuan penelitian. Beberapa perangkat yang disiapkan dalam tahap ini adalah: bahan ajar, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), buku dongeng. Sedangkan dalam pelaksanaan sebagai berikut: Siswa diberi penjelasan tentang pembelajaran berbasis kontekstual. Guru (peneliti) menjelaskan tujuan pembelajaran dan garis besar materi yang akan dipelajari yaitu bercerita dari buku dongeng yang dibaca.
Siswa diberi izin ke perpustakaan untuk memilih satu buku dongeng. Siswa dipersilakan untuk membaca buku dongeng, dan dilanjutkan untuk membaca di rumah.Siswa diberi waktu satu minggu untuk melanjutkan membacanya dan membuat sinopsis dari buku dongeng. Setelah satu minggu, siswa diberi tugas untuk mendongeng dan mengumpulkan sinopsisnya. Siswa bersama guru membuat rubrik penilaian. Siswa secara individu dipersilakan bercerita di depan kelas. Guru (peneliti) bersama siswa melakukan pengamatan dan meberikan penilaian. Guru (peneliti) bersama siswa merekap nilai. Guru melakukan refleksi di akhir pelajaran pada siklus yang pertama. Pengamatan selama tahap pengamatan siklus pertama, peneliti mengamati keterampilan berbicara siswa dalam bercerita dengan menggunakan rubrik penilaian. Refleksi ini dibagi menjadi dua tahapan lagi, yaitu: Analisis hasil observasi mengenai kemampuan siswa bercerita dari hasil membaca buku cerita. Analisis beberapa kekurangan/kelemahan dari tahapan sebelumnya.
Tabel 3.1Indikator Keberhasilan Pada Siklus Pertama
Aspek Penilaian
Nilai
Cara Mengukur
1. Keruntutan cerita

2. Penggunaan bahasa
3. Intonasi, mimik

4.Gesture,mimik

4. Kelancaran, rasa percaya diri.












Diamati ketika bercerita dari awal hingga akhir cerita.
Diamati ketika mengucapkan ujaran-ujaran.
Diamati mimiknya dalam menceritakan tokoh dalam buku cerita, nada suara.
Diamati kelancarannya dalam bercerita (tidak tersendat-sendat), tampak percaya diri.
Dihitung dari skors yang diperoleh. Siswa yang memperoleh nilai lebih besar/sama dengan 70 dinyatakan tuntas.
Kegiatan yang termasuk di dalam siklus kedua ini meliputi: perencanaan, peneliti merencanakan tindakan berdasarkan tujuan penelitian. Beberapa perangkat yang disiapkan dalam tahap ini adalah: bahan ajar, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP),CD dongeng,film layar lebar “Laskar Pelangi”,sinopsis dongeng. Pada tahapan yang dilakukan dalam pelaksanaan adalah sebagai berikut: siswa diberi penjelasan tentang pembelajaran berbasis kontekstual. Sedangkan guru (peneliti) menjelaskan tujuan pembelajaran dan garis besar materi yang akan dipelajari yaitu bercerita dari buku dongeng yang dibaca. Siswa dipersilakan menuju ruang audio untuk menyaksikan beberapa dongeng dari CD,siswa diberi tugas untuk memilih salah satu dongeng serta membuat sinopsis dari dongeng tersebut. Siswa juga menyaksikan film layar lebar berjudul “Laskar Pelangi”(ini merupakan program sekolah),peneliti memanfaatkan moment ini untuk menunjang pembelajaran bercerita.Tugas siswa setelah menyaksikan film layar lebar adalah membuat sinopsis.       Satu minggu kemudian guru masuk kelas, bersama siswa membuat rubrik penilaian. Guru membentuk kelompok dongeng,ternyata ada 4 kelompok dongeng sesuai pilihan siswa. Guru mempersilakan siswa untuk berkelompok sesuai.dengan dongeng yang dipilihnya. Di dalam kelompok,siswa saling menukar sinopsisnya untuk saling membaca,saling bertukar pikiran,ketua kelompok yang telah ditunjuk memberi contoh cara mendongeng yang baik,tetapi improvisasi mendongeng tetap menjadi kebebasan para siswa untuk mengembangkan imaginasinya. Kemudian para siswa dipersilakan mendongeng satu persatu. Guru dengan siswa menilai penampilan siswa yang mendongeng sesuai dengan rubrik penilaian yang telah dibuat. Guru (peneliti) bersama siswa merekap nilai. Guru melakukan refleksi di akhir pelajaran pada siklus yang kedua.  Dalam tahap pengamatan, selama tahap pengamatan peneliti mengamati keterampilan berbicara siswa dalam bercerita dengan menggunakan rubrik penilaian. Sedangkan refleksi analisis hasil observasi mengenai kemampuan siswa bercerita dari hasil menonton dongeng dari CD dan film dan membaca sinopsis dongeng. Analisis beberapa kekurangan/kelemahan dari tahapan sebelumnya.
Beberapa indikator keberhasilan pada siklus kedua disajikan pada tabel berikut
Tabel 3.1         Indikator Keberhasilan Proses Pada Siklus Kedua
Aspek Penilaian
Nilai
Cara Mengukur
1. Keruntutan cerita

2. Penggunaan bahasa
3. Intonasi, lafal
4.Gesture,mimik
5. Kelancaran, rasa percaya diri.



Diamati ketika bercerita dari awal hingga akhir cerita.
Diamati ketika mengucapkan ujaran-ujaran.
Diamati mimiknya dalam menceritakan tokoh dalam buku cerita, nada suara.
Diamati kelancarannya dalam bercerita (tidak tersendat-sendat), tampak percaya diri.
Dihitung dari skors yang diperoleh. Siswa yang memperoleh nilai lebih besar/sama dengan 70 dinyatakan tuntas.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa rubrik penilaian dan catatan guru/jurnal yang digunakan untuk mengetahui proses dan kualitas belajar.
 PEMBAHASAN
         Pelaksanaan penelitian dilakukan pada dua siklus karena adanya keterbatasan waktu yang disediakan oleh sekolah. Pelaksanaan masing-masing siklus mencakup empat tahap kegiatan yaitu perencaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Pada siklus pertama, perencanaan dilakukan setelah melakukan kajian terhadap masalah pembelajaran di kelas VII SMP Katolik Sang Timur Malang. Pemecahan masalah dilakukan dengan menerapkan model pembelajaran berbasis kontekstual. Pelaksanaan pembelajaran pada siklus pertama mencakup menyiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), menyiapkan alat penilaian (penilaian proses dan penilaian akhir), meteri ajar dan perangkat pembelajaran lain untuk kegiatan pembelajaran aspek berbicara dengan materi “Menceritakan kembali cerita yang dibaca”. Hasil pengamatan pelaksanaan pembelajaran dan refleksi pada siklus pertama serta siklus kedua dipaparkan pada bagian berikut ini.
         Pengajaran kompetensi dasar dilakukan pada tiga pertemuan. Pada pertemuan pertama (2X40 menit). Pada awal pertemuan, guru membuka pelajaran dengan mengucapkan salam dan menanyakan siswa yang tidak hadir atau siswa yang beberapa hari yang lalu tidak hadir tetapi sekarang sudah hadir. Guru menjelaskan kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran serta tugas yang harus dilakukan oleh para siswa. Kemudian guru mempersilakan kepada para siswa menuju perpustakaan untuk meminjam buku dongeng. Para siswa diberi kesemapatan untuk membaca di perpustakaan. Sebelum pelajaran berakhir kurang lebih 10 menit, guru bersama para siswa kembali ke kelas untuk membuat rubrik penilaian. Tujuan membuat rubrik penilaian adalah untuk menilai penampilan (bercerita) para siswa. Penilaian dilakukan bersama antara peneliti (guru) dengan siswa. Nilai dari peneliti (guru) dengan siswa direkap bersama untuk dijadikan nilai akhir. Pada akhir pelajaran, guru menjelaskan tugas pada pertemuan berikutnya. Para siswa diberi waktu satu minggu untuk melanjutkan membaca buku dongeng. Guru j menjelaskan tugas para siswa membuat sinopsis, para siswa diingatkan juga untuk tidak menghafal ceritanya ketika mereka mendongeng.  
         Pada pertemuan kedua (2x40 menit), guru membuka pelajaran dengan mengucapkan salam dan mengabsen siswa. Kegiatan awal pembelajaran dilakukan dengan menanyakan kesiapan siswa untuk mendongeng dan rubrik penilaiannya. Kemudian guru mempersilakan siswa secara sukarela yang mau bercerita lebih dulu. Menit demi menit berlalu tanpa ada seorang siswa pun yang mau ke depan untuk bercerita. Karena ketika diminta secara sukarela tidak seorang pun yang menanggapi, guru mengubah strategi, yaitu dengan memanggil nama siswa sesuai dengan nomor urut.  Strategi ini pun tidak berhasil sehingga waktu 1 jam pelajaran berlalu, guru (peneliti)  memotivasi siswa dengan memberi nilai plus kepada siswa yang mau bercerita lebih dahulu. Hasilnya tidak ada satu orang siswa pun yang bergeming dari tempat duduknya, guru menanyakan alasan mereka tidak mau bercerita. Salah satu siswa menjawab bahwa alasannya adalah tidak hafal jalan ceritanya, dan yang lainnya pun secara serempak membenarkan. Maka, peneliti (guru) akan mengingatkan kembali kepada para siswa bahwa untuk dapat bercerita tidak harus hafal terlebih dahulu, karena kalau dihafalkan, maka ketika bercerita bisa berhenti mendadak karena lupa. Guru menjelaskan yang perlu dilakukan siswa adalah membaca buku cerita yang sudah dipinjam tidak hanya satu kali tetapi bisa tiga/empat kali, setelah itu memahami karakter masing-masing tokoh di dalamnya. Ketika bercerita di depan kelas, yang diperlukan adalah imaginasi dan improvisasi untuk mengembangkan jalan ceritanya. Kemudian sekali lagi guru (peneliti) memanggil nama siswa untuk bercerita sesuai dengan nomor urut siswa. Karena terpaksa, akhirnya siswa pun mau bercerita di depan kelas. Hasilnya mengecewakan, ada tiga siswa yang tetap tidak mau, yang lainnya sewaktu bercerita banyak yang tidak lancar/tersendat-sendat bahkan tidak sedikit yang lupa ceritanya, tidak sistematis, dan kurang berimprovisasi. Kemudian guru (peneliti) bersama siswa merekap nilai menjadi satu. Hasil yang didapat adalah sebagai berikut:
1.   Sesuai SKM                   : 32      % (standar ketuntasan 70%)
2.   Tidak sesuai SKM          : 68      %
Dari hasil yang didapat, menunjukkan bahwa kemampuan rata-rata siswa belum mencapai SKM. Rincian sebaran skor yang diperoleh siswa disajikan pada gambar berikut.
Gambar 4.1     Hasil Belajar Siklus Pertama
   Jumlah Siswa
          20
       
           15
           13
           10
         
             5
                   
                        30-49        40-59         60-69        70-80        89-100
        Gambar 4.1    Kelompok skor
Dari gambar 4.1 tampak bahwa sebanyak 36 siswa tidak memenuhi SKM karena berada dibawah nilai 70. Sebanyak 13 siswa berada di rentang nilai 40-59, dan 17 siswa berada di rentang nilai 60-69. Hanya sebagian kecil siswa yaitu 28,26% yang mencapai SKM dengan skor maksimal pada rentangan 70-80. Jumlah siswa yang mencapai SKM ini sebanyak 13 siswa Hal ini menunjukkan bahwa sebagian siswa sudah mendekati SKM yang bila dimotivasi dan penggunaan model pembelajaran yang inovatif, kreatif akan dapat mencapai ketuntasan belajar.
            Sebelum jam pelajaran berakhir, guru (peneliti) memberi penjelasan untuk pembelajaran selanjutnya, yaitu   menyaksikan beberapa dongeng dari CD,menonton film layar lebar di Matos yang berjudul “Laskar Pelangi”. Menonton film layar lebar merupakan program dari sekolah, guru memanfaatkan moment ini untuk menunjang pembelajaran bercerita. Guru (peneliti) memberi tugas kepada siswa untuk menulis ringkasan ceritanya. Tiga hari kemudian seluruh siswa bersama dengan guru menyaksikan film layar lebar di Matos dengan judul “Laskar Pelangi”. Pelaksanaan pembelajaran pada siklus pertama sesuai dengan RPP yang dilaksanakan. Guru (peneliti) menjelaskan materi tentang “Menceritakan kembali cerita yang dibaca”,dan ternyata waktu yang direncanakan tidak cukup. Hal ini dikarenakan siswa tidak mau/enggan melaksanakan tugasnya untuk menceritakan kembali cerita yang dibaca. Pada proses pembelajaran, baru sebagian kecil yang benar-benar melaksanakan pembelajaran sesuai dengan tujuan pembelajaran. Sebagian besar siswa yang lain belum mencapai ketuntasan belajar. Proses pembelajaran di dalam kelas sangat pasif, hal ini karena ketika siswa ditugaskan untuk bercerita di depan kelas tidak ada yang bereaksi, bahkan ada tiga orang siswa yang tidak mau bercerita. Lebih dari  68 % siswa belum mencapai ketuntasan belajar, sedangkan siswa ynag tuntas hanya   32 %. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran belum mencapai target (65%), sehingga proses pembelajaran perlu diperbaiki untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Selain hasil belajar, kemampuan siswa dalam memahami bacaan belum memadai, sehingga ketika harus bercerita di depan kelas banyak siswa yang menghadapi kendala. Hal ini terlihat ketika siswa bercerita di depan kelas, banyak yang lupa jalan ceritanya, kurang berimaginasi, dan kurang berimprovisasi.
         Berdasarkan uraian di atas, guru (peneliti) perlu mengubah strategi mengajar, rentang waktu yang lama, memvariasikan materi yang ada tidak hanya terbatas pada membaca buku dongeng, tetapi divariasikan dengan menyaksikan tayangan dari CD/film. Dengan waktu yang cukup dan strategi yang tepat, serta memvariasikan materi membaca buku dongeng dengan menyaksikan dongeng dari CD/film, diharapkan siswa dapat lebih termotivasi untuk mencapai tujuan pembelajaran atau dapat mencapai ketuntasan belajar khususnya menceritakan kembali cerita yang dibaca/disaksikan. Pada siklus kedua, guru (peneliti) diharapkan dapat memberikan rentang waktu yang cukup dan memilih strategi pembelajaran yang tepat serta inovatif dalam pembelajaran. Selanjutnya menyaksikan beberapa dongeng dari CD (untuk menyaksikan film layar lebar berjudul “Laskar Pelangi” dilakukan di luar jam pelajaran dan  merupakan program sekolah). Pada pertemuan pertama (2x40 menit), guru menggunakan waktu selama lima menit untuk membuka pelajaran dan mengabsen siswa. Kemudian guru menanyakan pelajaran yang lalu ketika siswa menceritakan kembali cerita anak yang dibaca. Ada seorang siswa menjawab pertanyaan guru bahwa mereka tidak hafal ceritanya, siswa yang lain serentak mengiyakan. Lalu secara singkat guru menjelaskan kembali bahwa dalam bercerita, siswa tidak perlu menghafal ceritanya, tetapi yang sangat penting adalah memahami jalan ceritanya, dan supaya memahami jalan ceritanya adalah dengan membaca dan membaca. Membacanya tidak hanya cukup sekali tetapi berkali-kali bisa tiga sampai empat kali. Selanjutnya guru memberi penjelasan tentang pembelajaran saat ini sama dengan yang lalu yaitu menceritakan kembali cerita anak menggunakan pembelajaran berbasis kontekstual. Pembelajaran kali ini ada perpaduan/kombinasi antara membaca dengan menyaksikan tayangan beberapa CD dongeng, film layar lebar berjudul “Laskar Pelangi”. Setelah siswa bersama-sama menyaksikan beberapa CD dongeng dan film layar lebar, siswa harus menulis sinopsis/ringkasan cerita. Pada pertemuan berikutnya barulah menceritakan kembali cerita yang telah dibaca dan disaksikan. Mendengar penjelasan guru, secara serentak siswa berteriak “hore” dengan wajah berseri-seri dan gembira. Kemudian guru mengajak anak-anak ke ruang audio untuk menyaksikan beberapa dongeng. Selama menyaksikan dongeng dari CD, anak-anak terlihat sangat antusias, mereka bisa relaks menikmati suasana yang menyenangkan. Anak-anak bisa tertawa gembira bila ada tayangan yang menyenangkan atau sedih bila adegannya mengharukan. Setelah jam pelajaran berakhir, guru mengingatkan tugas siswa untuk menulis ringkasan cerita (sinopsis).  Tiga hari kemudian, tepatnya tanggal 20 Oktober 2008 seluruh siswa dan para guru menyaksikan film layar lebar yang berjudul “Laskar Pelangi”. Menyaksikan film layar lebar tersebut merupakan program sekolah, maka moment ini oleh guru (peneliti) dipergunakan untuk pembelajaran yang bersifat rekreatif. Dikatakan sebagai rekreatif karena pembelajarannya di luar kelas dan sifatnya santai. Sesudah itu para siswa menceritakan kembali cerita yang disaksikan/ditonton dan membaca  dari sinopsis. Pertemuan kedua (2x40 menit) atau satu minggu kemudian guru kembali masuk kelas untuk melanjutkan pelajaran. Sebelum masuk kelas ada empat siswa yang menyongsong guru dengan mengatakan “mendongeng ya, Bu?”. Para siswa sudah tidak sabar ingin segera mendongeng. Guru tersenyum sambil mengiyakan. Di dalam kelas guru membuka pelajaran dan mengabsen siswa. Guru menanyakan, “Apakah sudah siap untuk bercerita?”. Siswa secara serentak menjawab, “Siap, Bu!” Kemudian guru mengingatkan rubrik penilaian, dan mempersilakan siswa duduk sesuai dengan kelompok dongeng yang sama. Ternyata terbentuk 4 kelompok dongeng, yaitu: Kelompok Laskar Pelangi, Kelompok Pinokio, Kelompok Cinderlela,Kelompok Timun Mas. Tugas para siswa dalam kelompok dongeng tersebut menukar sinopsisnya untuk saling membaca dan berdiskusi memberi masukan satu sama lain. Di dalam kelompok, para siswa menunjuk seorang siswa yang terampil untuk menjadi ketua kelompok. Masing-masing ketua kelompok memberi contoh dalam mendongeng di dalam kelompok, tetapi para siswa tetap diberi kebebasan untuk berimprovisasi dan mengembangkan imaginasinya masing-masing sewaktu mendongeng. Kemudian guru menanyakan kepada para siswa sekali lagi, “Apakah siap bercerita?” Serentak para siswa menjawab “Siap, Bu!” Guru dengan segera mempersilakan para siswa satu per satu untuk bercerita. Serentak ada 4 siswa yang secara bersamaan maju ke depan kelas, akhirnya mereka saling mengalah, dan mempersilakan salah seorang siswa lebih dulu mendongeng. Suasanan di dalam kelas sangat hidup, para siswa mampu mengembangkan daya imaginasinya disertai dengan improvisasi dalam melakonkan para tokoh dongeng. Para siswa yang belum bercerita sangat menikmati penempilan temannya, mereka dengan gembira sekaligus memberi penilaian sesuai dengan rubrik penilaian yang telah dibuat. Bila dalam bercerita, ada hal-hal yang lucu, para siswa akan tertawa terbahak-bahak, tetapi bila ada yang menampilkan dongeng dengan suasana sedih, maka kelas pun menjadi sunyi. Para siswa terbawa dengan suasana dongeng yang dibawakan oleh temannya. Alur cerita yang disampaikan para siswa sangat sesuai dan lancar. Dalam memerankan para tokoh, para siswa membawakan dengan sangat ekspresif, tidak monoton. Tidak satu pun siswa yang mengantuk, mereka betul-betul menikmati pembelajaran. Guru terutama sangat senang karena semua siswa hadir/tidak ada yang absen. Hampir semua siswa bercerita di depan kelas tanpa dipanggil namanya. Mereka dengan senang hati melakukannya, tinggal 3 orang siswa putra yang belum bercerita. Guru memanggil satu persatu nama ketiga siswa agar mendongeng. Ketiga siswa diam saja, teman-temannya juga memberi dorongan dengan tidak sabar agar ketiganya mau bercerita. Ketiganya tetap tidak bereaksi. Kemudian guru menanyakan kepada ketiga siswa tersebut.”Mengapa tidak mau kedepan?”, “Tidak hafal ceritanya, Bu!” jawab ketiga siswa putra tersebut dengan takut-takut. Guru tidak membiarkan ketiga siswa tersebut berlarut-larut, kemudian guru memanggil ketua-ketua kelompok dari ketiga siswa tersebut. Ketua-ketua kelompok tersebut diberi penjelasan singkat oleh guru agar mereka mendampingi siswa dalam mendongeng. Ketiga siswa putra tersebut satu persatu mendongeng di depan kelas didampingi oleh ketua kelompok masing-masing. Hingga akhirnya ketiga siswa putra tersebut menyelesaikan dongengnya dengan cukup bagus. Sebelum pelajaran berakhir, guru menanyakan kepada para siswa, “Bagaimana perasaan kalian terhadap pembelajaran yang telah dilakukan ?” Para siswa hampir serentak menjawab , “Senang!” Kemudian guru bertanya kembali, “Apakah skor penilaian ada kemajuan?” Para siswa menjawab, “ada kemajuan, Bu!” Selanjutnya guru menugaskan salah seorang siswa untuk mengumpulkan rubrik penilaian. Guru yang akan menghitung skor para siswa. Sesuai yang diharapkan, maka hasil belajar siswa pada siklus kedua tampak lebih baik dibandingkan pada siklus pertama. Skor rata-rata yang diperoleh siswa adalah 72. angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa telah mencapai ketuntasan belajar.
Gambar 4.2     Perbandingan skor hasil bercerita pada siklus pertama dan siklus kedua
   Jumlah Siswa
      

         30

         25
         22
         20
        
         15
        
         10
           7
           5
 
                       30-49        50-59       60-69        70-79        80-89
          Gambar 4.2  Kelompok skor
         Dari gambar diketahui bahwa siswa yang mencapai ketuntasan sekitar 85% atau sebanyak 39 siswa telah mencapai SKM yang ditentukan. Sebanyak 22 siswa mencapai nilai antara 80-89, sedangkan yang mencapai rentang nilai 70-79 sebanyak 17 siswa. Sedangkan sebanyak 3 siswa masih belum mencapai SKM karena berada di rentang nilai 60-69. Peningkatan kemampuan bercerita siswa disertai meningkatnya kemampuan siswa dalam menuangkan imaginasinya dalam bentuk tulisan. Selain itu, rasa percaya diri siswa lebih meningkat. Keberhasilan implementasi model belajar yang dipadu dengan teknik pembelajaran berbasis kontekstual tampak dari pencapaian pada siklus pertama dan kedua sebagaimana disajikan pada tabel berikut.
Tabel 4.1         Indikator keberhasilan pada siklus pertama dan kedua

Pencapaian siklus pertama
Pencapaian siklus kedua
 Sesuai SKM 
 Tidak sesuai SKM                                             
28.26  %
71.74 %
85%
15%
         Hasil belajar yang menonjol adalah peningkatan pada ketuntasan hasil belajar siswa di mana terjadi peningkatan dari 32% menjadi 85%. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa penerapan teknik pembelajaran berbasis kontekstual dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Sistem penskoran pada rubrik penilaian disajikan pada tabel 4.2.
Tabel 4.2         Rubrik penskoran teknik pembelajaran berbasis kontekstual secara kualitatif
NO
Aspek Penilaian
Siklus Pertama
Siklus Kedua
Ya
Tidak
Ya
Tidak
1.
2.
3.
4.
  5.


Keruntutan cerita
Penggunaan bahasa
Intonasi, lafal
Gesture,mimik
Kelancaran dan rasa percaya diri

V
V

V
V
V
V
V
V
V
V


PENUTUP
         Penggunaan model pembelajaran kontekstual dalam menceritakan kembali cerita anak yang dibaca para siswa kelas VII SMP Katolik Sang Timur Malang dapat dilaksanakan sesuai dengan RPP yang telah dikembangkan. Pelaksanaan pembelajaran berbicara dengan model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan keberanian siswa dalam bercerita. Hal ini juga dapat mengembangkan daya imaginasi mereka dan rasa percaya diri. Penggunaan model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan proses belajar, kualitas hasil belajar dengan kompetensi dasar “menceritakan kembali cerita anak yang dibaca diintegrasikan dengan menyaksikan dongeng”, siswa kelas VII SMP Katolik Sang Timur Malang. Ketuntasan siswa mencapai 85 %. Namun 15 % siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar. Sebaiknya guru lebih memberi motivasi siswa supaya kemampuan berbicara/bercerita  para siswa lebih berkembang, percaya diri..Sebaiknya guru lebih menyadari sepenuhnya bahwa siswa sebagai pebelajar sangat memerlukan dukungan dan bantuan aktif dari guru,supaya siswa lebih maju. Guru harus lebih kreatif dan inovatif dalam penggunaan media pembelajaran serta sumber belajar. 
























DAFTAR RUJUKAN

Alwi. Hasan dkk. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Dimyati dan Mudjiono. 1998. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara

Muslich, Masnur. 2008. KTSP – Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara.

Roestiyah, N.K. 2008. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Karyono.Hari.2009.Penelitian Tindakan Kelas-Teori dan praktik.Jawa Timur:Surya Pena Gemilang

Moleong,Lexy J.1989.Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung:CV Remaja Karya
Sudjana,Nana dan Ahmad Rivai.1989.Teknologi Pengajaran.Bandung: Sinar Baru.
Santoso,Barokah dkk.2004. Belajar Berbahasa Belajar Berkomunikasi. Malang: UM Press.
Ekowati.2005. Model-model Pembelajaran Interaktif.